Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kominfo, Literasi Masyarakat, Media, dan FPI Melindungi Thionghoa pada 98

3 Maret 2022   09:03 Diperbarui: 3 Maret 2022   09:13 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Thionghoa: Tirto.id

Literasi Masyarakat, Kominfo,  Media, dan FPI Melindungi Etnis Thionghoa 98

Salah satu program andalan Johnny Plate adalah literasi digital bagi masyarakat. Hal baik     yang memang sudah semestinya. Publik kudu melek bagaimana dunia dalam genggaman, karena digitalisasi di mana-mana. Jangan sampai menjadi kambing congek peradaban.

Memilukannya adalah, ketika media, yang berkoar-koar sebagai pilar demokrasi keempat, namun menyajikan berita atau opini yang tidak berdasar, mengetengahkan kebencian, atau data separo, dan aneka bentuk kejahatan yang seolah-olah benar.

Masyrakat dibina agar melek dunia digital, namun bagaimana salah satu  sarana belajar melek itu malah menyajikan data ngaco. Ini masalah yang cukup besar sebenarnya, jika mau kritis dan mau susah.

Salah satu tokoh etnis Thionghoa mengaku, jika FPI melindungi etnis mereka, ketika pecah kerusuhan 98. Apakah FPI sudah berdiri kala ada rusuh rasial di Jakarta menjelang reformasi?

Sebuah hal yang bisa dipahami ini mengenai membangun opini. Siapa yang bicara juga sudah diketahui dengan baik apa afilisi dan ke mana tujuan pernyataan itu.  FPI jelas berdiri usai kerusuhan prareformasi. Memang berani mengikarkan front seperti itu era Orba? Mimpi. Cek saja faktanya sangat mudah terlihat dan ada di mana-mana.

Pemutarbalikan fakta, atau membuat berita yang ngaco boleh-boleh saja, kalau itu sudah puluhan tahun atau ratusan. Lha ini masih kisaran di bawah 30 tahun. Rekaman peristiwa juga begitu banyak dan mudah untuk diakses.

Apa kaitannya dengan Kominfo?

Pemerintah, Kominfo mengatakan perlunya masyarakat melek literasi digital. Hal yang pasti semua pihak mengamini. Namun, bagaimana jika media malah menyajikan berita, informasi, atau mungkin opini namun salah, apakah tidak ada cek recek apalagi klarifikasi.

Peran sentral Kominfo untuk menjadikan masyarakat melek ditunggangbalikkan oleh media. Ini faktual dan semakin banyak terutama media online yang susah untuk diyakini kebenarannya, apalagi bicara obyektifitas. Data sederhana, namun mereka abai karena kepentingan. Lebih lagi jika, bicara mengenai ideologi dan politik.

Kominfo memang berbeda dengan Menteri Penerangan era Harmoko, Orde Baru  yang demikian berkuasa, bahkan mutlak. Hidup tidak pada era otoritarian dan kekuasaan mutlak di pemerintah, Soeharto dan tim. Kebebasan bersuara dan berpendapat juga menjadi pembeda dengan era kini.

Namun, bahwa karena tujuan untuk mendidik masyarakat agar melek literasi, bahwa media juga kudu menyajikan data, opini, dan apalagi berita yang valid, relevan, dan mengandung kebenaran yang cukup terpercaya. Ini penting.

Masyarakat kita dikenal malas membaca. Selalu yang menjadi acuan adalah peringkat PISA negeri ini sangat memprihatinkan. Membaca itu penting, ketika budaya baca saja rendah, ya sudah, diperarah dengan sajian media yang buruk.

Membaca saja ogah, boro-boro membandingkan atau mencari pembanding dan pembenar atas semua informasi. Ini juga menjadi keprihatinan banyak pihak dan tentu saja lintas lembaga dan kementrian.  Tidak semata anak atau yang awam dalam literasi, termasuk elit terutama politikus sangat memprihatinkan.

Pers selalu berkedok kebebasan berpendapat. Tentu saja pendapat itu kudunya santun, jelas kebenaran, dan bukan malah ngibul. Apa yang disajikan itu tidak melanggar UU dan etika. Apa iya kebohongan itu sah secara hukum mau positif apalagi hukum agama.

Eforia usai rezim otoriter sudah seharusnya berakhir. Sudah lebih 20 tahun, saatnya bebenah menuju perbaikan. Kebebasan yang sangat longgar kudu taat aturan, konsensus, dan juga aturan yang ada. jangan mengatasnamakan kebebasan sekaligus juga kebablasan dengan ala kadarnya, pokoknya ramai dan malah membentuk persepsi salah lagi.

Dewan pers susah dijadikan rujukan karena partisan. Sepanjang sesuai dengan jalur partai yang menaungi atau  pernah bersama-sama jangan harap bisa menegakan etika jurnalis.

Kominfo berhak untuk menindaklanjuti, sebagaimana konten pornografi, kekerasan, dan terorisme. Media-media yang menebarkan ancaman kesehatan ekosistem pers yang sehat, perlu mendapatkan perhatian. Hal ini sesuai dengan amanat Johnny Plate selaku Menkominfo dalam Hari Pers Nasional bulan kemarin.

Ekosistem pers yang sehat itu jelas salah satunya menampilkan berita, opini, ataupun reportase yang berdasar azas kebenaran. Jangan malah menafikan kebenaran demi sejumlah uang.

Menkominfo, Johnny Plate lebih lanjut mengatakan, orientasi industri media yang baik akan tercermin dari  jurnalisme yang bermutu dengan basus data, analisis, dan pendekatan teori yang memadai.

Pers yang baik akan menjadi acuan di tengah gencarnya informasi dari  media sosial yang tidak jarang berujung pada hoax. Miris ketika justru media aus utama demi mendukung sebuah ideologi atau seorang atau sekelompok orang justru malah menebarkan kebohongan.

Bagaimana pertanggungjawaban media di tengah masyarakat, ketika melek digital masyarakat malah dikhianati oleh media partisan yang abai akan jurnalisme yang sehat, sebagaimana tuntutan Johnny Plate dalam Hari Pers Nasional 22.

Kebebasan berpendapat itu tentu juga akan terbentur dengan hak warga negara mendapatkan informasi yang sehat.    Aneh dan lucu, ketika kejahatan namun bersembunyi di balik  kebaikan dan atas nama kebebasan berpendapat. Berpendapat itu memang bebas, namun tentu ada koridor yang harus ditaati. Naif sebenarnya ketika orang ngotot bicara kebebasan, ketika mereka sendiri tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya.

Terima kasih

https://aptika.kominfo.go.id/2022/02/hari-pers-nasional-menkominfo-dorong-pers-adaptasi-teknologi-digital/

https://populis.id/read12363/lieus-bilang-fpi-bantu-warga-Thionghoa-pada-kerusuhan-98-jangan-ngadi-ngadi-pak-waktu-itu-rizieq-aja-masih-dagang-minyak-wangi-kok?page=all

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun