Susi Air: Tribunnews.comÂ
Kasus Pesawat Susi Air, Kader Demokrat ini Mau Nampol Jokowi, Malah Kena AHY
 Susi Pudjiastuti sedang curcol di media sosial, karena pesawatnya dipindahkan dengan paksa oleh satpol dari Pemda Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Pihak pemerintah daerah tidak mau menyebutkan alasannya karena menyangkut soal etik. Hal yang bisa dimengerti dan baik.
Jauh lebih menarik adalah, pernyataan salah satu elit Demokrat, yang memberikan narasi, bagaimana perlakuan pada mantan menteri saja seperti itu, apalagi pada rakyat biasa. Terjemahan bebas demikian.
Asumsi saya adalah, maksudnya mau mendeskreditkan pemerintah, Jokowi terutama, sebagaimana rekam jejak yang Demokrat lakukan selama ini. Keberadaan curcol Susi Pudjiastuti mau menjadi batu pijakan, bagaimana pemerintah kejam pada elit, apalagi manusia atau masyarakat biasa.
Namanya netizen kerja sangat cepat, mencari informasi dan segala hal ikhwal untuk menjadikan bahan mau pro dan kontra mengenai hal ini. Tidak pakai  lama ketemulah, kalau Ketua Umum Partai Demokrat, memuji kepala daerah Malinau sebagai kader partai mercy yang terbaik. Terbukti, bahwa itu malah kolega Benny sendiri.
Apa kaitannya coba presiden, pemerintah, dalam hal ini Jokowi dengan pemindahan paksa pesawat milik Susi Pudjiastuti. Hal yang terlalu jauh dan terlalu remeh sebenarnya jika mau mengaitkan pemerintah yang sangat tega dan kejam pada masyarakat.
Kewenangan dan juga yang melakukan jelas-jelas satuan Polisi Pamong Praja. Â Itu ada di bawah pemerintah daerah. Apa kaitannya dengan pemerintah pusat.
Jokowi memang terlalu sabar, sehingga banyak orang yang tidak suka, berlaku seenaknya sendiri, termasuk fitnah dan berspekulasi berlebihan. Pelaporan Kaesang dan  Gibran ke KPK juga sebuah bentuk tindakan yang berlebihan. Kala pelapor sendiri mengaku pembuktiannya sulit.
Apa yang bisa kita pelajari dari kisah Benny K. Harman ini?
Pertama, bagaimana reaktidnya kader Demokrat kala ada bahan untuk memojokkan pemerintah. Tanpa panjang dan kali lebar langsung saja ada dan jadi narasi untuk mencapai keinginan sendiri. Ini tidak semata menjelekka atau menuduh Jokowi dan jajaran, lebih jauh adalah mendapatkan poin untuk suara bagi mereka.
Kedua. Kinerja ugal-ugalan seperti ini, yang seharusnya membuat AHY-SBY malu dan melakukan pembinaan. Masalahnya adalah AHY juga sering melakukan politik yang sama. Penting menjadi bahan pembicaraan dulu masalah isi atau benar tidak bukan yang utama.
Ketiga. Berkali ulang membuat masalah dengan komunikasi media seperti ini, seolah ini adalah memang jalan ninja Demokrat untuk mencapai kembali kejayaannya. Â Lebih oposan dari oposan, kadang malah meliar, pokok menjadi bahan apalagi polemik.
Keempat. Saatnya adalah berpolitik prestasi, bukan lagi sensasi. Politik cemar asal tenar bukan lagi massanya. Lihat pilpres 2019 kemarin. Pasangan Prabowo Sandi membuat lelucon, pernyataan-pernyataan ngaco. Benar, bahwa mereka mendapatkan sorotan dan pembicaraan gede, namun keterpilihan sangat rendah. Akhirnya mereka kalah.
Kelima. Ini bukan zaman media cetak. Orang perlu lebih dari sehari untuk bisa mendapatkan pembenar atau adanya kesalahan. Kini berbeda, dengan internet, tanpa pakai lama akan cepat mendapatkan klarifikasi yang sangat kuat dalam pembuktian.
Keenam. Demokrat ini harus mengganti kader yang asal bapak senang, namun kontraproduksi. Mencapai kemenangan hanya dengan satu cara, menghantam Jokowi. Cara-cara kuno yang sangat tidak efektif. Padahal era modern ini begitu banyak cara untuk membranding diri dan partai.
Ketujuh, benar, dengan menghajar Jokowi sebagai tokoh sentral dan paling berpengaruh saat ini, peluang mendapatkan keuntungan gede. Lha namun apakah sukses? Selama ini malah mental dan mbumerang yang terjadi berkali-kali.
Durian runtuh itu tidak diperoleh, malah makin terbenam karena berdiri di atas lumpur hisap. Jangan salahkan pihak lain kalau Demokrat makin terpuruk dan tenggelam.
Bisa saja padahal dengan membesar-besarkan jasa atau keberhasilan SBY pada masa lampau. Namun ingat, jangan dengan membandingkan dengan pemerintahan sekarang. Pasti akan dengan mudah dimentahkan para pendukung Jokowi. Pembuktian yang sangat  mudah dan bahkan murah.
Sering melakukan, namun dengan membandingkan keberadaan pemerintah lainnya. Pembuktian sangat gampang dan kemudian malah menyerang balik dan lebih parah. Lagi-lagi sia-sia.
Demokrat tidak memiliki pemilih fanatis, sebagaimana PDI-Perjuangan atau PKS. Basis massa Demokrat sama sekali tidak ada. Nah, bagaimana  partai SBY ini dikenal itu jauh lebih penting.  Jauh  lebih potensial itu menggaet pendukung Jokowi yang sudah tidak memiliki lagi figur sentral sebagaiana Jokowi.
Pendukung dan pemilih Jokowi itu gede. Jelas saja menang dua kali pilpres. Potensi massa mengambang ini yang seharusnya digarap, diolah, dan dijadikan pemilih. Namun perilakunya selama ini, Demokrat yang menghajar Jokowi membuat pemilih dan pendukung Jokowi ogah beralih mendukung Demokrat dengan kepentingan pencapresan AHY.
Sebuah bumerang yang tersaji karena ketidakcerdasan membangun narasi, opini, dan isu politik yang cerdas, bernas, dan mengena. Masalah kepemimpinan memang sangat krusial dan ironisnya, Demokrat mengalami kondisi itu.
Tahun 2024 masih terlalu jauh, namun Demokrat ternyata sudah makin kepayahan, sempoyongan, dan makin parah di dalam memilih cara berpolitik. Begitu banyak isu dan narasi yang bisa dibangun. Sayang menggunakan cara praktis yang sudah ketinggalan zaman. genggaman sih digital, tapi otal dan perialku masih manual dan ketinggalan zaman.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H