Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Benarkah Sekolah Berbasis Agama Menjamin Akhlak Anak?

17 Januari 2022   21:14 Diperbarui: 17 Januari 2022   21:35 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Benarkah Sekolaah Berbasis Agama Menjamin Akhlak Anak?

Kemarin, mendengar bahasan mak-mak mengenai pendidikan anak. Si mak senior menyarankan si mak junior untuk memasukkan anaknya ke sekolah berbasis agama. Alasan dari yang senior adalah, bekal agama yang jauh lebih banyak sejak dini itu baik. Apakah demikian yang terjadi? Layak dicermati  beberapa hal berikut.

Tentu tak hendak bmendiskreditkan sekolah berbasis agama, karena toh saya sekolah dengan basis agama lebih dari separo usia, sekolah agama juga lebih kurng sebelas tahun. Jadi, ini adalah sebuah upaya telisik secara universal dan mencoba obyektif.

Sebetulmya, secara esensial keliru jika pendidikan itu melatih ketrampilan, pengetahuan, dan bekal kemampuan pengetahuan umum, teknologi, namun malh dominasinya agama. Berbeda ketika pada sekolah tinggi, yang memang sudah  penjurusan untuk bekal masa depan pesreta didik.

Pendidikan dasar dan awal itu harus jauh lebih luas dan terbuka atas semua kemungkinan ketrampilan, pengetahuan, dan menemukan potensi siswa untuk menjadi apa. Bakat, minat, dan potensi yang mereka punyai.

Kemampuan dasar yang tidak bisa diulang. Jangan kemudian malah sudah terfokus pada satu sisi, dan itu belum tentu tepat dengan talenta yang anak miliki. Pendidikan dasar jangan terlalu  khusus dan sudah menjadi pilihan rigid.

Berbeda adalah, ketika pendidikan agama itu pada sekolah infomal, tambahan sore hari yang tidak terlalu kaku. Jauh lebih penting adalah akhlak, moralitas, dan karakter anak yang agamis.

Apa yang terjadi selama ini adalah, labeling agamis, istilah agamis, dan aktivitas agamis, namun perilakunya jauh dari ajaran agama. Perhatikan saja, bagaimana kekerasan seksual, kekerasan di kelas atau sekolah, juga terjadi pada sekolah-sekolah   berbasis agama yang kental.

Apa yang terjadi itu karena agama masih sebatas atribut, ritual, dan tampilan luar atau semaata hafalan. Padahal jika bicara akhlak, moralitas, atau pedoman hidup, atau ajaran untuk jalan hidup harus lebih dari itu semua. Amalan, perilaku, dan perihidupnya berdasarkan dan bernafasan agama.

Tidak hanya pakaian atau kata-katanya yang kental agama, namun masih suka mangkir atas tanggung jawab, berbuat curang tanpa merasa bersalah, bahkan melakukan kekerasan seksualpun masih bisa menghindari tanggung jawab.

Padahal, paling dasar, mudah, dan sederhana perilaku orang taat beragama itu tanggung jawab atas perbuatannya. Lha kalau sebatas bertaanggung jawab, menanggung konsekuensi atas perbuatannya saja tidak berani, apa layak mengaku beragama atau saleh dalam beragama?

Semangat beragama layak diacungi jempol, sekolah berbasis agama menjamur dan laris, aktivitas keagamaan menggembirakan dengan penuhnya tempat-tempat ibadah,  bangunan rumah ibadah sangat megah bahkan mewah, di mana-mana. Satu sisi ini adalah kemajuan yang layak diapresiasi. Namun, memilukannya adalah, hal-hal itu tidak kemudian berbanding lurus dengan keadaan hidup bersama yang lebih baik.

Apa yang kita saksikan bersama, pelaku maling doit negara masih menjadi-jadi. Apa fungsi atribut dan aktivitas agama, jika masih saja maling tanpa  merasa bersalah dan petentang-petenteng. Ini jelas-jelas ada yang salah. Harusnya malu maling jika benar dalam beragama.

Caci maki dan ujaran kebencian marak di tengah-tengah euforia beragama. Bagaimana bisa orang mengaku beragama sekaligus mengeluarkan kata-kata kotor di mimbar dan acara keagamaan. Tentu ada yang salah.

Pemuka-pemuka agama, asyik dengan mengulik agama lain, atau malah asyik masyuk dengan dunia politik. Hal yang sebenarnya aneh dan naif. Begitu banyak persoalan moralitas dan perihidup, namun malah lebih banyak membahas agama lain atau urusan tata negara, yang mereka tentu saja tidak cukup kapasitas untuk membahasnya.

Sebenarnya miris, kala agama malah menjadi bahan atau obyek bisnis-ekonomi, apalagi politik. Sayang, yang awalnya maunya saleh malah menjadi korban. Lihat saja demikian banyak model-model bisnis berkedok agama, dan berujung pada penipuan.

Pun politik identitas agamis begitu marak, isu agama si calon pejabat yang diekspose besar-besaran, istilah-istilah agamis disematkan dalam pemilu, namun perilaku berpolitiknya jauh dari ajaran agama.  Hal demikian malah menurunkan keberadaan agama yang seharusnya agung.

Masalahnya adalah pemilik kepentingan yang  menggunakan segala cara yang murah meriah. Agama dan kesukuan di mana saja akan laku keras. Apalagi kebebalan sudah diciptakan terlebih dahulu.

Negara lain sudah bersiap berpindah dengan teknologi yang sangat canggih, di sini masih asyik dengan terminologi agama yang itu-itu saja. Sejatinya agama tidak ada yang salah dan keliru, hanya penafsiran yang sewenang-wenang menjadikan masalah.

Menafsirkan teks saja sudah susah, apalagi konteks, diperparah dengan sikap malas belajar, sikap kritis yang keliru, dan juga arogan. Sikap merasa  paling benar malah mempertontonkan cara beragama yang tidak tepat.

Sekali lagi tidak ada agama yang salah, namun cara beragama yang keliru. Sikap manusia yang memiliki kelemahan namun merasa superior dan merasa lebih dari yang lain.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun