Kominfo, Metaverse, Jokowi, dan NU
Metaverse oleh sebuah media dinyatakan, susah mendefinisikan, karena belum tentu juga ada. hal yang wajar, sesuatu yang baru dan akan diharapkan terjadi. Memang sedikit banyak sudah ada bagian-bagian yang terbukti dan ada secara faktual.
Juragan Facebook yang menjadikan metaverse ini menjadi pembicaraan hangat, kala ia mengubah nama induk perusahaannya menjadi  Meta Platform Inc (Meta). Jauh sebelumnya istilah ini dipopulerkan oleh Snow Crash dalam sebuah novel ilmiah.
Paling mudah untuk dipahami, Metaverse adalah  sebuah konsep masa depan dalam dunia digital. Ada kata kunci masa depan, berarti waktu ini masih sekadar rintisan, sudah berjalan namun masih  belum sepenuhnya bentuk jadi.
Perkembangan teknologi begitu cepatnya. Bagi generasi 80-an ke bawah akan paham dengan baik, bagaimana pager dengan telepon umum, berkembang menjadi wartel,  beralih   ke SMS, dan kini dilibas dengan chatingan yang jauh lebih cepat, murah, dan vaariatif. Generasi dulu masih mengenal telegram,  jasa telekomunikasi dengan bahasa sandi dan dihitung perkarakter untuk pengirimannya.
 Internet pada kisaran tahun 90-an masih termasuk barang mewah, hanya kalangan tertentu dan kantor-kantor berlas yang ada layanan internet. Sekarang, di  pelosok negeri pun sudah dapat menikmati keenakan dunia maya ini. Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa ekses untuk kenyamana dan kemudahan itu tentu membawa dampak.
Protes orang tua karena anaknya kebanyakan menatap layar smartphone, baik ngegame atau menyaksikan siaran dari Youtube, Toktik, dan   tidak ketinggalan media sosial yang begitu menarik dan beragam.
Kemajuan dan kemudahan teknologi tidak boleh menjadi kendala. Fokus kita bukan masalah akibat buruk dari teknologi, namun bagaimana peluang dari keberadaan dan kemudahan internet itu menjadi peluang bagi kehidupan manusia yang lebih mudah dan lebih baik tentu saja.
Presiden Jokowi menyebut Metaverse sebagai sebuah peluang bagi dakwah untuk NU. Jokowi menyebutnya dalam acara muktamar ormas terbesar di dunia itu. pengembangan metaverse dengan basis kultural, budaya, dan keanekaragaman adat dan istiadat negeri ini.
Negara ini jangan dianggap sepele, pengguna internet nomor tiga di Asia dengan total 212 juta lebih. Ini adalah potensi. Jangan sampai hanya menjadi penonton, sebatas konsumen, apalagi hanya menjadi penyebar berita yang tidak diketahui kebenaranya. Ini yang perlu menjadi perhatian.
Metaverse adanya keterlibatan manusia secara maya. Memang selaa pandemi ini sudah begitu banyak hal sudah mulai terjadi. Lihat saja adanya  tour atau wisata luar negeri,mau rohani atau yang profan secara online. Orangnya ada di mana-mana, tidak perlu datang secara fisik sebagaimana cara konvensional.
Wikipedia, di mana ini adalah  layanan terbuka, sedikit banyak tidak bisa dianggap seluruhnya benar, namun memberikan definisi sedikit lebih mudah. Metaverse sebagai sebuah bagian internet yang menjadikan interaksi virtual menjadi semirip mungkin dengan aslinya. Keterlibatan kita sangat penuh di dalam aktivitas virtual itu.
Lihat saja, kerja dari rumah, sekolah dari rumah, bukan sekadar membagi tugas dan mengumpulkan hasil pekerjaan dan selesai. Interaksi yang sangat minimal. Metaverse jauh lebih gede karena ada interaksi yang lebih komplet di sana. Tidak heran, sudah mulai ada menu restoran yang bisa  dicicipi dari layar gadget kita.
Jangan kemudian menjadikan ini sebagai musuh, apalagi dengan dalih dan dasar agama yang kolot. Ini hasil cipta manusia yang sangat membantu, bukan malah menjadi batu sandungan. Orang tidak perlu jauh-jauh ke Vatikan atau Makah, atau Paris misalnya. Namun bisa melihat, merasakan, dan seolah-olah mengalami perjalanan di musieum Vatikan, Paris, atau berkunjung ke Makah.
VR manusia nyemplung dalam teknologi, AR teknologi masuk pada dunia manusia, dan metverse ada ketersalingan. Saling nyemplung dan menyemplungi. Ada kolaborasi yang lebih komprehensif, di mana dibutuhkan mana yang lebih sesuai dengan keinginan kita.
Dunia tiga dimensi, 3D vurtual sudah ada di depan mata. Menggantikan 2D yang sudah saatnya memang ditinggalkan. Kemajuan teknologi itu sangat menarik dan membantu.
Johnny Plate selaku Menkominfo mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk bisa terlibat untuk mewaujudkan metaverse yang benar-benar baik dan berdaya guna dengan basis budaya sendiri. Bayangkan, jika acara di Bromo, Waisak di Borobudur, sendratari Ramayana di Prambanan bisa dijadikan metaverse, Indonesia akan berjaya di dunia internasional.
Masalahnya adalah, bangsa ini masih terlalu banyak orang kolot, konvensional, dan terlalu curiga kemajuan zaman,. tafsir teknologi dengan paradigma agama. Untungnya sih, selama ini kalau bicara dunia informasi, termasuk internet tidak menjadi masalah. Ada yang menolak pun  tidak menjadi berlarut-larut, kalah dengan sendirinya.
Politik, setali tiga uang, sering menjadi penghambat dalam banyak segi perihidup. Lagi-lagi dalam perkembangan teknologi informasi mereka tidak ikut cawe-cawe. Berbeda dengan icang lain.
Harapan bagus bahwa dunia metaverse akan makin menjadi kebutuhan dan bisa tumbuh dengan sangat baik di negeri ini. Menjanjikan dan sangat menarik.
Terima kasih Â
Sumber bacaan
https://id.wikipedia.org/wiki/Metaverse
