Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

6 Alasan Alumni 212 Begitu Digdaya

2 Desember 2021   16:58 Diperbarui: 2 Desember 2021   17:12 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi Reuni 212. Sumber: Kompas.com

6 Alasan Mengapa Alumni 212 Begitu Digdaya?

Hari ini,  alum ni 212 sebenarnya mau mengadakan acara reuni. Biasa pusatnya di Monas, atau Bundaran HI, simbol ibukota negara yang sempat mereka jadikan pusat kemenangan  pada masa lalu.  Ternyata cukup berbeda pemerintah dan juga aparat keamanan menyikapi. Tidak ada kompromi, maka sudah ada penutupan-penutupan.

Izin juga tidak keluar, baik untuk Jakarta ataupun alternatif di Bogor. Aneh juga kalau di Bogor karena tuan rumah sedang berduka, mosok mau jadi ajang reunian. Hal yang lucu dan ngaco sebenarnya.

KSAD pun sudah menyatakan tentara siap turun jika keadaan memaksa mereka terlibat. Artinya sudah jelas polisi sudah ada bantuan yang tidak main-main. Tanda-tanda kegagalan makin menguat, apalagi memang tema yang diusung juga sangat tidak populer, sudah kehilangan maknanya sama sekali.

Mengapa masih saja ada sekelompok orang di elit PA 212 yang begitu percaya diri dan berbicara sangat bersemangat via media ataupun media sosial? Lihat saja model Novel Bamukmin, AL  Khaththath, dan Hasan Baras. Mereka paham bahwa kelompok mereka sangat prospektif.

Alasan mereka masih cukup yakin adalah,

Pertama, orang masih begitu percaya dan takut bahkan kalau bicara soal agama. Menyangkut agama sudah ngeper duluan. Lihat saja berkali ulang, pejabat, elit negeri ini mau politik atau birokrasi pada ngeper kalau berhadapan dengan apapun ada sematan agama.

Publik pu berbondong-bondong mendukung sepanjang ada ujaran, ungkapan, dan istilah agamis. Belum lagi ketika ada embel-embel masuk surga dan kutukan jatuh ke neraka.

Beragama yang masih sebatas itu, ya mau apa lagi. Ini adalah pekerjaan rumah seluruh pemuka agama. Bagaimana agama bukan alat politik. Politik yang kerdil memperalat agama.

Kedua, begitu banyak pengguna "jasa" mereka. Paham betul mereka-mereka ini, siapa-siapa yang ada di balik mereka. Jadi getol berseru-seru untuk mengadakan aksi ini dan itu. Wong faktanya mereka aman-aman saja. Hal yang sudah berkali ulang dengan tema dan ujaran yang itu lagi itu lagi. Tidak ada yang baru.

Ketiga, pembiaran. Berkaitan poin kedua, karena masih begitu banyak "pengguna" dan mereka ini juga punya pengaruh dan kaki tangan ke mana-mana, akhirnya terjadi pembiaran. Esok juga sudah lupa, nanti setahun lagi, atau menjelang 212 bisa jadi ada pemesan karena agendanya adalah stabilitas politik yang tidak terjaga.

Masih banyak yang membela dan mendukung karena kepentingan. Susah penegakan hukum. Lihat kisah Rizieq dan Munarman tahun lalu. Setelah terjadi rusuh parah, baru ada tindakan tegas, mau mancing atau terlambat itu bisa pad artikel lain.

Keempat, tinggal tong kosong sih kalau sekarang. Koar-koar banter tapi tidak berdampak. Mengapa? Duet maut di posisi paling top dalam agitasi massa dan mengumpulkan orang. Mereka berdua tidak tergantikan.

Ini perlu kecerdasan. Bagaimana meyakinkan publik dan juga penyandang dana untuk bisa menggelontorkan uang demi bisa mengumpulkan massa. Apalagi di tengah keadaan yang sangat lemah untuk melakukan provokasi.

Kelima, yang berteriak-teriak dan semangat ini memang profesi atau pekerjaannya itu saja. Tidak ada kesibukan lain yang bisa menghidupi mereka. Suka atau tidak, demo dan kumpul-kumpul itu bagian dari pekerjaan mereka.

Nah, tentu saja mereka tentu saja selalu  mencari-cari cara untuk mendapatkan momentum. Mau meksa atau alamiah tidak lagi jadi soal. Bagaimana bisa tema penjarakan Ahok dan bebaskan Rizieq itu kali ini bisa klop dengan atmosfer publik? Tidak ada sama sekali.

Ahok tidak lagi melanggar hukum, pidananya sudah selesai dijalani. Apanya yang  bisa dijadikan alasan dan alat menjerat Ahok kali ini? Sama sekali tidak ada.

Pembebasan Rizieq, hal yang sama sekali tidak menjadi perhatian publik, selain keinginan segelintir elit kelompok pemrakarsa demo atau reunian ini. Hal yang  jelas tidak mendapatkan respons cukup signifikan dan berarti.

Keenam, kelompok ini aliansi beberapa kelompok yang satu persamaannya, antiJokowi. Apapun pokoknya Jokoewi ganti, lengser, dan turun. Nah, bagus bagi beberapa elit partai yang mainannya sama. Sebut saja Demokrat dan PKS, mereka selalu mendengungkan hal demikian.

Selain itu juga barisan sakit hati karena FPI dan HTI dibubarkan. Mereka tentu saja mencari wadah yang bisa tampak legal dan sama-sama eksis. Nah ketemu dan klop di PA 212.  Pemubaran ormas tanpa ada tindak lanjut mereka bisa bermetamorfosis ke mana-mana. Ini konsekuensi demokrasi memang.

Tahun ini sudah selesai, nah masih akan hadir lagi tahun-tahun mendatang, sepanjang aktor-aktor yang sama masih bisa menebarkan narasi yang sama dengan bebas dan leluasa. Lihat saja sepanjang November bagaimana opini yang dibangun. Yang tidak reuni penista agama. Logikanya dari mana coba? Toh bisa merajalela di media sosial dan media arus utama juga menurunkan berita seperti itu.

Demokrasi itu bebas, namun tentu juga perlu waras. Memang masih harus dihadapi sikap kanak-kanak yang biasa memaksakan kehendak sih.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun