Ketiga, pembiaran. Berkaitan poin kedua, karena masih begitu banyak "pengguna" dan mereka ini juga punya pengaruh dan kaki tangan ke mana-mana, akhirnya terjadi pembiaran. Esok juga sudah lupa, nanti setahun lagi, atau menjelang 212 bisa jadi ada pemesan karena agendanya adalah stabilitas politik yang tidak terjaga.
Masih banyak yang membela dan mendukung karena kepentingan. Susah penegakan hukum. Lihat kisah Rizieq dan Munarman tahun lalu. Setelah terjadi rusuh parah, baru ada tindakan tegas, mau mancing atau terlambat itu bisa pad artikel lain.
Keempat, tinggal tong kosong sih kalau sekarang. Koar-koar banter tapi tidak berdampak. Mengapa? Duet maut di posisi paling top dalam agitasi massa dan mengumpulkan orang. Mereka berdua tidak tergantikan.
Ini perlu kecerdasan. Bagaimana meyakinkan publik dan juga penyandang dana untuk bisa menggelontorkan uang demi bisa mengumpulkan massa. Apalagi di tengah keadaan yang sangat lemah untuk melakukan provokasi.
Kelima, yang berteriak-teriak dan semangat ini memang profesi atau pekerjaannya itu saja. Tidak ada kesibukan lain yang bisa menghidupi mereka. Suka atau tidak, demo dan kumpul-kumpul itu bagian dari pekerjaan mereka.
Nah, tentu saja mereka tentu saja selalu  mencari-cari cara untuk mendapatkan momentum. Mau meksa atau alamiah tidak lagi jadi soal. Bagaimana bisa tema penjarakan Ahok dan bebaskan Rizieq itu kali ini bisa klop dengan atmosfer publik? Tidak ada sama sekali.
Ahok tidak lagi melanggar hukum, pidananya sudah selesai dijalani. Apanya yang  bisa dijadikan alasan dan alat menjerat Ahok kali ini? Sama sekali tidak ada.
Pembebasan Rizieq, hal yang sama sekali tidak menjadi perhatian publik, selain keinginan segelintir elit kelompok pemrakarsa demo atau reunian ini. Hal yang  jelas tidak mendapatkan respons cukup signifikan dan berarti.
Keenam, kelompok ini aliansi beberapa kelompok yang satu persamaannya, antiJokowi. Apapun pokoknya Jokoewi ganti, lengser, dan turun. Nah, bagus bagi beberapa elit partai yang mainannya sama. Sebut saja Demokrat dan PKS, mereka selalu mendengungkan hal demikian.
Selain itu juga barisan sakit hati karena FPI dan HTI dibubarkan. Mereka tentu saja mencari wadah yang bisa tampak legal dan sama-sama eksis. Nah ketemu dan klop di PA 212. Â Pemubaran ormas tanpa ada tindak lanjut mereka bisa bermetamorfosis ke mana-mana. Ini konsekuensi demokrasi memang.
Tahun ini sudah selesai, nah masih akan hadir lagi tahun-tahun mendatang, sepanjang aktor-aktor yang sama masih bisa menebarkan narasi yang sama dengan bebas dan leluasa. Lihat saja sepanjang November bagaimana opini yang dibangun. Yang tidak reuni penista agama. Logikanya dari mana coba? Toh bisa merajalela di media sosial dan media arus utama juga menurunkan berita seperti itu.