Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Satu Data Indonesia, PDN, dan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik

14 November 2021   15:05 Diperbarui: 14 November 2021   15:09 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu Data Indonesia, Pembangunan PDN, dan SPBE

Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik sudah sangat mendesak untuk bisa berlaku secara faktual. Mengapa demikian? Dunia sudah digital, namun mental dan  otak kita masih saja manual. Lihat saja ngakunya KTP-elektronik, uang negara begitu banyak keluar untuk proyek strategis, modern, dan penting itu.

Apa yang terjadi kini? Masih saja semua persyarakat, mau masuk TK atau mau mendaftar ASN, militer, dan aneka bentuk photo copyan dan itu pemborosan dalam banyak segi. Waktu, kertas, uang, dan entah apa lagi.

Namanya sudah elektronik, sebenarnya, idealnya, tinggal scan atau masukkan kode tertentu semua data kita sudah terakses kesahihannya. Toh selama ini semua itu masih sekadar omong besar tapi faktualisasinya masih sama saja. Berkas bertumpuk dan photo copy.

Celakanya lagi, layanan photo copy makin susah diperoleh karena keberadaan mesin pencetak rumahan yang bisa menggantikan peran jasa photo copy. Makin susah dobel yang tidak ada printer di rumah.

Beberapa waktu lalu geger dengan tudingan data Presiden Jokowi mengenai sertifikat vaksin covid19 bocor. Padahal dua cara masuk secara resmi pada aplikasi itu adalah NIK yang bisa diperoleh dengan bebas pada situs KPU, dan tanggal pelaksanaan vaksin yang memang terbuka dan bisa diketahui publik karena pemberitaan. Termasuk kabar resmi dari kementerian dan lembaga menyantumkan itu.

Sejatinya ini bukan ranah rahasia, hanya karena politis saja bisa demikian riuh rendahnya masalah ini  digoreng ke mana-mana.  Namanya juga politik dan kepentingan.

Padahal ada yang lebih ngaco  lagi, ketika data pribadi Denny Siregar diretas oleh salah satu pegawai pelayanan jasa telekomunikasi. Ini jelas-jelas data dicuri dan dijadika bahan untuk meneror dan mengancam keselamatan pribadi salah satu pelanggan dari pelayanan jasa tersebut.

Artinya apa? Data kita, sangat riskan dijadikan "bancaan" oleh oknum-oknum tidak bertaanggung jawab. Sama juga dengan pinjol, di mana bisa mengancam, memaki, dan menjadikan pihak yang sama sekali tidak berkaitan dengan lembaga peminjaman, hanya sebagai sarana menagih dan mendapatkan kembali uang mereka.

Lagi-lagi ini adalah kebocoran data yang sangat meresahkan. Namun sama sekali tidak pernah menjadi bahan diskusi, debat, dan juga keriuhan karena  tidak populer apalagi politis.

Pusat Data Nasional, akan didirikan di Batam, Jabodetabek sebagai pusat ibukota negara saat ini,  kawasan sekitar ibukota negara baru, dan Labuan Bajo. Ini sebagai sarana untuk konsolidasi menuju Satu data Indonesia.  Menkominfo Johnny Plate menyebutkan itu sebagai sebuah harapan demi kemajuan dan Indonesia yang memiliki pemerintahan transparan, efektif, dan efisien.

Lihat saja carut marut daftar penerima bantuan sosial, karena datanya masih manual. Belum lagi nanti pihak lain, BKKBN misalnya juga memiliki data, pemerintah daerah, kementerian yang berkaitan dengan masyarakat, juga memiliki data. Itu semua susah untuk sinkron. Mengapa?

Kepentingan. Politik selama ini. Bagaimana negara memang dibuat bias, kacau, dan tidak bisa sinergis, malah cendwrung bersaing. Mengapa?

Tabiat penjajah, di mana kita menjadi orang atau pihak yang saling asing. Ketika itu sudah tidak mempan, dibuatlah kisruh  mengenai data.

Satu Data Indonesia nanti akan memudahkan bagi siapa saja memerlukan itu. Mau kementrian, lembaga swasta ataupujn negeri semua tersedia dan mudah untuk mendapatkan akses.

Kebocoran data yang didengung-dengungkan selama ini bisa diminimalisasi. Pihak Kominfo, berbicara mengenai reward bagi staf dan karyawan yang mengelola Pusat Data Nasional. Jika mengikuti standar ASN tentu tidak cukup, berkaitan dengan kemampuan dan juga pendidikan yang mereka telah tempuh.

Kinerja teknologi tinggi, 7 hari per minggu, 24 jam per hari ini perlu tenaga yang cukup sekaligus mumpuni.  Hal yang perlu kerja sama lintas kementrian dan lembaga tentu saja. Alokasi penerimaan ASN 2022 terbuka untuk pengelola ini.

Hal yang seharusnya sudah jauh-jauh hari dilakukan di negeri ini. sebagai upaya meskipun terlambat ya sudahlah, layak diapresiasi. Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik, jelas sangat murah, mudah, dan efisien.  Kendalanya adalah masih banyak mental birokrat yang tidak suka transparan dan memang memilih mbulet.

Persoalannya adalah mentalitas feodal dan juga tidak mau belajar. Presiden Jokowi mengatakan, masyarakat kita masih begitu feodal dan bermental inlander, dalam sebuah acara Nasdem. Wajar. Ketika bisa susah, mengapa dbuat mudah, seolah sudah mendarah daging dalam sistem birokrasi kita.

Lihat saja para ASN  yang masih mencari huruf keyboard A dan S begitu lama. Cek di kecamatan dan kelurahan, kantor desa, ini di Jawa, apalagi yang jauh di pelosok sana.

Pemerintahan yang transparan. Mana ada yang mau, ketika itu juga mengurangi jatah uang yang mereka jadikan penopang gaya hidup. Ini masalah yang tidak terlihat dari kaca mata atas para birokrat. Melihat dengan sudut pandang yang berbeda. Ketika memikirkan gaji yang sepantasnya, padahal dari bawah tidak itu fokusnya. Bagaimana bisa mendapatkan semperan itu lebih penting.

Kebocoran data, secara teknis sangat mungkin diterapkan, namun bagaimana sikap mental dari para pemangku kepentingan. Lihat model kasus yang menimpa Denny Siregar, pinjol, dan jual beli  data itu seolah hal yang lumrah di negeri ini.

Komitmen dan kesetiaan akan tugas dan amanat, kog rasa-rasanya masih jauh dari harapan. Gaya hidup jauh lebih menggoda untuk bisa melenceng dan menghianati tugas yang mereka miliki.

Idenya sih bagus, ideal, dan sangat modern. Namun, bagaimana mewujudnyatakan dalam sistem pemerintahan dan sikap mental maling seperti ini. Tidak pesimis, namun bagaimana kita tetap harus realistis menghadapi model  birokrasi dan pegawai di negeri ini.

Terima kasih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun