Yusril Ihza Mahendra: Sindonews.com
Belajar Menang dan Demokrasi dari Yusrillah AHY!
Tuntutan kepada pihak Demokrat AHY yang dimotori Yusril Ihza Mahendra ditolak hakim MA. Sudah banyak yang memperkirakan hal tersebut termasuk Menkopolhukam Mahfud MD. Pernyataan Yusril usai ditolak yang layak dijadikan pembelajaran bersama, sebagai sebuah kajian akademik itu masih bisa diperdebatkan. Namun, sebagai keputusan lembaga peradilan itu adalah final dan mengikat.
Perlu disegarkan lagi, bagaimana kubu AHY melalui para kadernya, cenderung membela diri bak babi buta. Menyoal status Yusril sebagai pengacara dengan melabeli pengacara 100 M. Ini sangat tidak elok.
Demokrasi itu ya sama semua di muka  hukum. Jika ada perbedaan pendapat, biar hakim yang meutuskan, bukan sudah merasa benar, pasti, dan malah menggiring opini di luar arena. Ini malah mirip pertandingan tinju, riuh rendah di luar arena dari pada pertandingan sesungguhnya.
Sepi hanya pemberitaan media arus utama saja, dan itu juga tidak heboh banget, atau berseri-seri. Masih menunggu bagaimana sikap AHY dan kawan-kawan nantinya menyikapi hasil ini. paling-paling juga akan merendahkan dan jemawa merasa diri sudah paling lagi. Padahal tidak seharusnya demikian, jika mau menaguk keuntungan politis dan akhirnya membuat publik melihat.
Sejak awal sudah banyak yang meyakini kalau pihaknya yang benar, ingat ini konteks hukum Indonesia, saat ini, bukan idealnya. Artinya apa? kepentingan politis itu masih sangat dominan dalam penyelesaian termasuk kasus hukum. Jadi, ya masih sama saja, susah melihat secara yuridis formal sepenuhnya.
Fokus pada masalah. Demokrat, terutama di bawah AHY tidak berani menghadapi perbedaan. Apalagi kekalahan. Lihat saja bagaimana perselisihan dengan Moeldoko yang ia menangkan sejak awal, namun malah ke mana-mana. Menyeret Jokowi, istana, dan sebagainya. Politik gaduh yang tidak bermanfaat.
Terulang ketika Yusril maju mengajukan gugatan. Apa yang terjadi juga pembentukan opini publik. Merasa dirampok, dibegal, dan seterusnya. Hal Yusril sebagai pengacara ketika mengambil tawaran fee, itu juga disoal.
Padahal jelas mereka memiliki penasihat hukum yang handal lah. Ada mantan Menteri Hukum dan HAM. Mengapa harus takut dan malah menebar istilah-istilah yang kontraproduksi bagi politik nasional.
Padahal dengan mereka diam maju ke pengadilan atau KLB dan menang itu memberikan dobel reputasi dan legitimasi. Â Denga apa yang sudah dinyatakan di awal, memberikan julukan pada Moeldoko dan Yusril, malah publik tidak jadi bersimpati.
Sangat mungkin timbul kecurigaan kalau ada sesuatu di balik ini semua. Ini wajar terjadi dan sangat mungkin juga. Toh mereka jugacuriga demikian di depan. Kini boleh dong publik curiganya di belakang?
AHY dan juga SBY pastinya memiliki kapasitas. Sayang, malah mereka sia-siakan, karena terlalu fokus pada riuh rendah, bukan pada yang esensial. Berani menghadapi halangan dan rintangan itu jempolan dan saatnya publik melihat dan percaya.
Sayang, bahwa ia memilih berpolitik dengan cara yang sangat tidak elegan. Menjual derita, Â memainkan politik korban yang diulang-ulang. Ya sudah, selesai.
Drama panjang bertikai dengan kubu Moeldoko ini sangat merugikan bagi mereka sendiri. Mungkin kalau hitung-hitungan pembicaraan di media dan media sosial sangat tinggi. Tetapi rating tinggi tanpa makna.
Rivalitas 24 itu prestasi dan kontribusi bagi negara. Buat apa kalau ramai semu ala dunia maya? Ini konyol, perlu belajar dari Prabowo, bagaimana namanya disebut terus ala medai sosial, ternyata kosong dalam kenyataan pemilu.
Menciptakan keriuhan dengan istilah mangkrak, kudeta, buzzer, itu mungkin merah, ramai. Dan menjadi bahan perbincangan. Apakah menaikan citra dan keterpilihan AHY? Sama sekali tidak. Ya karena mengenai kontribusi dan capaian siapa yang bisa yakin.
Yusril banyak memberikan pembelajaran untuk bersikap demokratis itu tidak mudah. Apalagi jika sudah merasa bahwa karpet merah itu untuknya sendiri.
Hidup itu perjuangan bukan hadiah. Semua perlu kerja keras bukan suara nyaring semata. Publik harus dibuat terkesima dengan capaian, bukan narasi.
Masalahnya, AHY susah menciptakan citra diri sebagai apa. Politikus dan  capres narasi dan kata-kata jelas Anies Baswedan nomor satu. Prestasi ada Ganjar Pranawa, ET, dan banyak pemimpin yang tidak semata bermimpi.
Layak ditunggu komentar loyalis AHY akan seperti apa. Jika masih membully dan merendahkan ya sudah makin jauh dari peningkatan suara. Berubahlah, mumpung masih ada waktu.
Pun layak ditunggu sikap kubu Moeldoko dan kawan-kawan. Mereka tentu tidak akan tinggal diam. Menarik, jika merek deklarasi partai baru, sangat mungkin Demokrat banyak "terbajak" dan ikut kelompok baru.
Sikap mengelola partai yang tidak selayaknya partai modern tentu banyak membuat kecewa kader. Nah, kesempatan bagi pihak lain untuk menampung mereka. Masih cukup  wajtu tiga  tahun untuk konsolidasi dan membangun jaringan. Mereka cukup banyak dan sebaran eluruh Indonesia yang merasa kecewa dan sakit hati.
Politik itu asyik dan layak disimak sambil ngupi. AHY menang, layak belajar menang justru dari Yusril.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H