Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

5 Alasan Demokrat Menjuluki Yusril

12 Oktober 2021   21:13 Diperbarui: 12 Oktober 2021   21:24 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yusril-SBY: Detik.com

5 Alasan Demokrat Menjuluki Yusril

Perselisihan Demokrat kubu AHY-SBY versus kubu Moeldoko cs ini dulu melebar dengan apa-apa Jokowi-KSP-istana. Semua toh tidak terbukti dengan kekalahan Moeldoko dan AHY yang diakui pemerintah, bagian dari istana juga lho ya. Malah kata-kata kudeta segala terlontar.

Kini, mereka lagi-lagi berselisih dengan kubu Moeldoko, yang diseret-seret saat ini Yusril Ihza Mahendra. Tidak lagi Jokowi, namun pengacara yang mendampingi kubu rival mereka.

Mulai dari pengacara 100 milyard hingga Hitler menjadi julukan baru Yusril. Masih ada dukungan yang berasal dari akademisi, lagi-lagi sasarannya Yusril. Mengapa sih tidak fokus saja pada bahan dan materi untuk menjawab dan membungkam kubu Moeldoko.

Katanya, Nazarudin sudah mundur dari keberpihakan pada Moeldoko. Berarti kan mereka sudah lemah dalam banyak sisi. Malah menjadi aneh, ketika melebar dan menyasar ke mana-mana, terutama malah menyoal pribadi pengacaranya.

Mengapa sih mereka bertingkah demikian?

Pertama, mereka merasa sukses ketika membawa-bawa Jokowi dan istana dalam kisah drama perebutan tahta jilid pertama. Ini menjadi wajar karena memang KLB-nya sangat ngaco. Itu cenderung politis, jadi memang secara hukum, Menkumham dengan mudah mengetuk palu mengesahkan kepengurusan kubu AHY.

Kedua, secara legalis, tidak ada yang dilanggar oleh kubu AHY, berbeda dengan kubu Moeldoko yang memang sangat terburu-buru, sangat mungkin mereka gegabah dan salah dalam bersikap secara legal. Wajar kubu AHY menang.

Ketiga, kini yang disoal oleh Moeldoko dengan menggandeng Yusril adalah soal hukum. Mereka tentu paham bagaimana perilaku hukum mereka belepotan. Bagaimana struktur organisasi aneh, di mana bapak, anak dua-duanya memegang kunci strategis untuk mengamankan kedudukan AHY.

Mereka tentu paham bahwa ini ranah hukum, bukan ranah politik. Berbeda ketika drama jilid satu kemarin.

PTUN di mana kubu Moeldoko sudah menang, dengan tuntutan dari pihak AHY untuk melarang penggunaan atribut Demokrat, mereka sudah merasa pesimis dengan keberadaan dalil mereka. Secara politik sangat menang, bukan berarti secara legal mereka masih leluasa seperti itu.

Keempat, reputasi Yusril sebagai pengacara, khususnya tata negara sudah sangat terkenal dingin. Bagaimana sikapnya dan prestasinya dalam menjungkalkan kubu yang ia hadapi. Pemerintah sering kalah oleh dalil-dalil yang ia sampaikan. SBY pasti paham dengan reputasi Yusril.

Kelima, melemahkan Yusril akan sangat membantu. Poin keuntungan sangat besar, jika kubu Moeldoko kehilangan kekuatannya dalam hal ini pengacara sekaliber Yusril.

Ahli politik memang sangat melimpah, namun menjadi pengacara sepiawai  Yusril tidak cukup banyak. Hal ini tentu dipahami dengan baik oleh kubu AHY dalam konteks ini tentu saja SBY. AHY belum paham keadaan ini.

Membentuk opini publik dan kemudian menjadikan diri sebagai korban itu khas permainan politik SBY banget. Sukses berkali ulang, mau terus dipakai. Ya belum tentu cocok. Apalagi ranah peradilan dan legal formal.

Jauh lebih bagus padahal pihak AHY menghadapi  konsekuensi demokratis ya ada pihak-pihak yang membawanya ke pengadilan. Mau alasannya mengada-ada atau sahih, kalau benar ya jabanin saja. Apa salahnya coba.

Malah jika menang dan terbukti dia benar, akan mengatrol namanya lebih baik lagi. Publik mengenal AHY sebagai pemimpin yang berani dan memang demokrat sejati. Karpet merah tersedia dengan sendirinya.

Apa yang terjadi selama ini malah seolah membenarkan bahwa ia adalah karbitan. Menjadi ketua umum karena pemberian semata. Sayang banget, ada kesempatan untuk menunjukkan mutunya malah diperlemah sendiri.

Kepemimpinan itu dipertunjukkan salah satunya dalam menghadapi perselisihan dan bisa keluar sebagai pemenang. Bagaimana mau menang di luar pengadilan, padahal namanya saja sudah bernafas alam demokrasi. Kecuali memang diplomasinya keren, dan bisa melakukan pendekatan tanpa peradilan, itu beda kasus dan luar biasa.

Menyerang buzzer dan terbukti memelihara buzzer malah menjadi lagi-lagi lobang digali sendiri. Pembentukan opini itu masih dalam koridor yang sah asal tidak memutarbalikan fakta. Membesar-besarkan hal yang mikro pun tidak masalah.

Persoalan adalah ketika mau gede dengan menghancurkan yang lebih gede duluan. Jika demikian ngaco namanya.

Begitu banyak cara kampanye dan membrandingkan diri dengan jauh lebih elegan dan keren. Salah satunya berani bertarung di pengadilan secara ksatria. Tidak usah ribut-ribut, malah menyerang sana-sini. Publik malah bingung, lha kalau benar, mengapa perlu repot-repot menuding hukum bisa dibeli segala.

Kebesaran seorang pemimpin itu ketika bisa memenangkan peperangan tanpa banyak korban. Mau pihak sendiri pun pihak lawan. Martabatnya gede.  Bagaimana mau menjadi pemimpin, ketika harus bertempur sudah merasa menang tapi tidak ngapa-ngapain. Malah fokus pada peralatan pihak lawan. Kan aneh.

Fokuslah pada kemampuan, kekuatan, dan keadaan diri. Mau lawan seperti apa, atau lawan menggunakan apapun itu tidak lagi menjadi penting. Ada masalah di dalam diri Demokrat, sehingga gagal fokus mau apa.

Salah-salah malah menembak diri sendiri. Ibas dengan konsep mangkraknya, bukan mendongkrak ketenaran, hanya pembicaraan mencibir yang tidak berdampak. Ingat politik cemar asal tenar itu sudah banyak yang menggunakan, dan juga banyak yang gagal.

Drama ala Demokrat masih akan panjang. Ujung-ujungnya juga masih sama saja, tidak banyak berdampak bagi masyarakat dan negara. Tetapi asyik juga dari pada fokus pada pandemi yang membuat ngeri.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun