Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Golkar Melamar Ganjar dan yang Terlanggar KPK

25 September 2021   12:06 Diperbarui: 25 September 2021   12:17 830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Golkar itu tidak punya pemilih militan, ala PDI-P atau PKS. Pemilih mereka itu sentimentil Orba. Yang merasa masa Orba enak, biasanya memilih Golkar. Artinya suara mereka itu tidak cukup menjanjikan.

Perlu diingat juga kala bicara maling. Mereka penuh dengan maling. Ingat Setya Novanto selaku ketua umum Golkar, dan sekaligus ketua DPR aktif lagi. Eh kemarin menyusul wakil ketua dewan dari Golkar, aktif juga tercokok KPK karena maling. Susah melepaskan bayang-bayang ini.  Lihat saja  bagaimana Demokrat dan PKS.

Berbeda dengan PDI-P yang kena bukan kelas petinggi baik partai atau dewan. Hanya kader level menengah. Gampang membuang badan atas itu. Belepotan yang susah dihapus oleh partai biru dan putih, plus juga kuning.

Kader dan keberadaan Golkar level pendukung bukan pengusung utama. Ini juga pengaruh pengalaman masa lalu, di mana mereka tidak solid dan pecah ke mana-mana. Tentu ingat adanya Prabowo dan Wiranto, yang akhirnya membuat partai sendiri.  Faksi-faksi mereka susah untuk taat azas dan keputusan partai.

Suara tidak cukup kuat dalam artian bukan pemilih fanatis, masih juga banyak faksi. Makin tidak cukup menjanjikan partai beringin ini. Hal yang sangat wajar, melihat mereka memang dari awalnya adalah gabungan ormas yang saat itu perlu menempel dan merubung Soeharto.

Keberadaan Golkar yang rentan konflik ini juga sengaja Soeharto ciptakan, agar ia bisa menggunakan itu sebagai kendaraan untuk bisa bertahan sekian puluh tahun. Makin ke sini makin pragmatis karena memang nadi mereka adalah pragmatisme.

Pemersatu dan tokoh kuat pada Golkar itu kini tidak ada. Ketua umum inipun secara politik sangat lemah, tidak punya kemampuan manajerial yang cukup mumpuni. Jadi menteri juga tidak terlihat dan menonjol prestasinya.

Penanganan pandemi ini mendapatkan posisi strategis, juga tidak memberikan bukti konkret yang melambungkan namanya. Hanya menjadi pengikut bukan seorang pemimpin yang memiliki terobosan luar biasa.

Duet A-G ini sebagai sebuah hitung-hitungan politik sih bagus-bagus saja. Soal kursi untuk mengusung sangat mungkin mampu terlampaui, namun apakah bisa meyakinkan publik bahwa mereka mampu itu yang tidak mudah.

Kekuatan pemilih negara ini ada dua. Agamis dan militer. Nah kedua tokoh ini semua lemah dari sisi ini. Agama mereka biasa, bukan berlatarbelakang agama yang kuat dan tidak memiliki ikatan batin untuk bisa meyakinkan publik yang masih kuat soal agama.

Militer, ini sih sangat mungkin dengan pendekatan personal pada tokoh militer sangat terbuka kesempatan untuk mendapatkan dukungan mereka.  Kalangan  nasionalis tanpa religius toh ada militer. Kala Jokowi dengan JK, ia representasi Indonesia Timur yang sangat kuat basis massanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun