Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kala Fadli Zon Meledek Prabowo

19 September 2021   21:43 Diperbarui: 19 September 2021   21:59 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sikap kritis itu harus, namun juga jangan lupa, kudu waras. Mengapa? Jika tidak waras, mana yang terjadi adalah waton sulaya. Demokrasi yang sudah tidak sehat karena fokusnya hanya menggantikan kekuasaan, tanpa mau tahu keadaan.

Mempertontonkan ketidakdewasaan berpolitik Fadli Zon. Berbeda itu benar boleh dalam alam demokrasi. Namun menjadi naif, ketika kekuasaan mau namun juga malah menghantam yang menaunginya. Model demikian itu memberaki periuk nasinya sendiri, kalah dengan babi yang enggan makan makanan yang sudah kena ludahnya.

Babi saja enggan makan yang sudah ternoda ilernya sendiri. Lha ini malah berak di tempat ia makan.

Sikap sportif yang masih jauh dari harapan. Bebas itu ya ada ranah etisnya juga.  Menjaga nama baik itu salah satunya tidak malah membongkar aib sendiri. Apalagi jika yang dianggap aib itu hanya asumsi dan semata karena kebencian sehingga alur pikirnya ngaco.

Khas September yang selalu saja dimainkan. Syukur bahwa tahun ini sudah setengah bulan lewat baru ada isu komunis dan PKI lagi. Biasanya awal bulan sudah  ramai. 212 dengan eksFPI sudah meneriakan menonton film lawas. Fadli Zon dengan isu Natuna Utara dan negara China. Sebentar lagi ada demo dengan membakar bendera PKI.

Anehnya teriak-teriak PKI tetapi selalu saja tidak pernah juga melaporkan di mana kantor PKI dan aktivitas partai itu. Malah mereka yang punya benderanya.

Siapa di balik ini semua? Sederhana, siapa sih yang paling gede mendapatkan keuntungan dengan isu komunisme? Orang-orang Orba dan yang mendapatkan kenikmatan masa itu. kebetulan pula hari-hari ini mereka sedang dikejar untuk ditagih atas hutang mereka. Jelas, gamblang, dan tanpa tedeng aling-aling nama-nama mereka sehari-hari disebut.

Apakah mereka rela dan mau dengan hati gembira menerima keadaan ini? Jelas saja tidak. Nah syukurlah mereka ini tidak kreatif. Isu  basi yang diulang-ulang, itu bukan internalisasi namun menjadikan publik bosan dan menolak.

Masih saja dengan paradigma politik cemar asal tenar. Padahal publik sudah pintar, syukurlah elit masih tetap di dalam tempurung.  Mereka merasa sudah menyundul langit, padahal itu hanya tempurung semata.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun