Oposan itu tidak jelek. Sayangnya pemahaman sistem tata negara saja ngaco, ambigu, dan standart ganda, ya mau apalagi. Sistem presidensial sejatinya tidak ada oposisi atau koalisi. Memang eforia usai reformasi masih terjadi.
Hampir seperempat abad, dengan ditingkahi politikus tamak dan rakus, makin menjadi-jadi ngaconya demokrasi negeri ini. Ya sudahlah memang masih perlu waktu untuk menuju pada tatanan yang semestinya. Sayang memang energi bangsa ini terbuang percuma hanya karena elit yang kehilangan gundu mainan kesayangannya.
Salah satu ciri mendasar demokrasi ya berani kalah, sekaligus berani menang. Jika tidak mau kalah, ya jangan pernah berkompetisi dan menjadi pemenang. Selamanya akan menjadi pecundang dan hiruk pikuk di luar arena. Hati-hati jangan menjadi sebuah tradisi dan budaya negeri ini.
Hiruk pikuk oposan ditingkahi barisan sakit hati yang tersingkir dari kue kekuasaan memang paling gaduh akhir-akhir ini. Membangun brand untuk 2024 adalah sebagian pihak yang membuat keruh suasana. Entahlah, mengapa mereka harus berperan seperti itu. Apakah tidak mikir bahwa dengan demikian mengorbankan negeri ini?
Gerindra dua kali kalah dalam pilpres melawan partai dan orang yang sama. PDI-P dan Jokowi. Pada periode kedua Jokowi melihat, mengajak Prabowo dalam pemerintahan jauh lebih menguntungkan. Benar saja, keadaan lebih tenang dan bisa berbuat lebih leluasa. Nyanyian sumbang makin sedikit karena kekuatan ada di Gerindra.
Kelompok fundamentalis dan partai tidak jelas seperti PKS dan Demokrat bukan hitungan kenceng bagi Jokowi. Apalagi usai FPI dibubarkan dan dinyatakan terlarang. Menyusul Rizieq dan Munarman sunyi sepi di bui.  Hanya tinggal sisa-sisa saja, seperti alumni 212 yang kebingungan, bak  anak ayam kehilangan induk.
Gerindra senyap, hanya masih ada pada Fadli Zon. Satu orang ini memang Prabowo saja sudah mengatakan tidak bisa mengendalikannya. Tetapi posisi sebagai anggota biasa, baik di dewan ataupun partai membuatnya tidak cukup memiliki gaung.
Masih relatif sama, hanya media tidak lagi memberikan dia cukup panggung untuk menguras energi. Toh Prabowo juga tidak mau malu di depan presiden.
Malah kali ini Fadli Zon bak meludahi muka Prabowo ketika berkomentar soal kapal asing, RRC di sekitar Laut Natuna Utara. Siapa yang memegang tampuk tanggung jawab keamanan negara?
Maunya meremehkan Jokowi sebagaimana biasanya. Ia lupa, bahwa bosnya yang ada di sana. Apa yang bisa kita pelajari?
Oposan itu tidak buruk, bagus malah. Sepanjang mampu mempertanggungjawabkannya. Alasanya jelas bukan semata kebencian karena kalah pemilihan, tidak mendapatkan kursi dan kekuasaan kemudian berteriak-teriak pemerintah gagal, jelek, dan seterusnya.
Sikap kritis itu harus, namun juga jangan lupa, kudu waras. Mengapa? Jika tidak waras, mana yang terjadi adalah waton sulaya. Demokrasi yang sudah tidak sehat karena fokusnya hanya menggantikan kekuasaan, tanpa mau tahu keadaan.
Mempertontonkan ketidakdewasaan berpolitik Fadli Zon. Berbeda itu benar boleh dalam alam demokrasi. Namun menjadi naif, ketika kekuasaan mau namun juga malah menghantam yang menaunginya. Model demikian itu memberaki periuk nasinya sendiri, kalah dengan babi yang enggan makan makanan yang sudah kena ludahnya.
Babi saja enggan makan yang sudah ternoda ilernya sendiri. Lha ini malah berak di tempat ia makan.
Sikap sportif yang masih jauh dari harapan. Bebas itu ya ada ranah etisnya juga. Â Menjaga nama baik itu salah satunya tidak malah membongkar aib sendiri. Apalagi jika yang dianggap aib itu hanya asumsi dan semata karena kebencian sehingga alur pikirnya ngaco.
Khas September yang selalu saja dimainkan. Syukur bahwa tahun ini sudah setengah bulan lewat baru ada isu komunis dan PKI lagi. Biasanya awal bulan sudah  ramai. 212 dengan eksFPI sudah meneriakan menonton film lawas. Fadli Zon dengan isu Natuna Utara dan negara China. Sebentar lagi ada demo dengan membakar bendera PKI.
Anehnya teriak-teriak PKI tetapi selalu saja tidak pernah juga melaporkan di mana kantor PKI dan aktivitas partai itu. Malah mereka yang punya benderanya.
Siapa di balik ini semua? Sederhana, siapa sih yang paling gede mendapatkan keuntungan dengan isu komunisme? Orang-orang Orba dan yang mendapatkan kenikmatan masa itu. kebetulan pula hari-hari ini mereka sedang dikejar untuk ditagih atas hutang mereka. Jelas, gamblang, dan tanpa tedeng aling-aling nama-nama mereka sehari-hari disebut.
Apakah mereka rela dan mau dengan hati gembira menerima keadaan ini? Jelas saja tidak. Nah syukurlah mereka ini tidak kreatif. Isu  basi yang diulang-ulang, itu bukan internalisasi namun menjadikan publik bosan dan menolak.
Masih saja dengan paradigma politik cemar asal tenar. Padahal publik sudah pintar, syukurlah elit masih tetap di dalam tempurung. Â Mereka merasa sudah menyundul langit, padahal itu hanya tempurung semata.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H