Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Belajar Demokrasi dari Kasus Muhamad Kece, Yahya Waloni, dan SBY

30 Agustus 2021   11:48 Diperbarui: 30 Agustus 2021   12:37 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belajar Demokrasi dari Muhamad Kece, Yahya Waloni, dan SBY

Tiga sosok yang mendapatkan sorotan akhir-akhir ini, karena sepak terjangnya. Hal yang wajar di alam demokrasi, semua bisa bicara, dan juga memberikan tanggapan. Masalahnya adalah, demokrasi yang sama itu belepotan dengan keinginan dan memaksakan kehendak dan keinginan masing-masing.

Salah satu esensi demokrasi adalah kebebasan berbicara dan juga berfikir. Bagaimana bisa ketika mau bebas bicara, namun dikekang dengan UU yang sangat multitafsir, subyektifitas amat kental,dan pada ujungnya pengerahan massa atas nama agama, suku, atau sejenisnya. Masih terlalu mmunafik menggunakan sistem demokrasi.

Beberapa pelajaran berharga dapat kita saksikan dan pelajari bersama dalam beberapa hari terakhir. Dunia media sosial yang membuat ini makin besar. Bagus sebagai pembelajaran bersama, kondisi real  bangsa ini memang demikian adanya.

Kisah satu dan dua sejatinya identik. Muhamad Kece dan Yahya Waloni ini produk kekinian namun pemikiran sejatinya sangat kuno. Mereka menggunakan media sosial untuk mendapatkan nama, materi mungkin, dan jelas ketenaran. Sayang mereka merendahkan satu pihak demi menaikkan pihak lain.

Model pembelajaran bahwa mau tenar, viral, atau terkenal itu banyak cara kog. Model lawas dengan menjelekkan kompetitor demi menaikan diri atau kelompoknya sudah tidak lagi zamannya. Mainnya media sosial, sosial itu kan kata dasarnya socius, teman, kog malah lawan. Kan mengkhianati nama medianya.

Sikap tnggung jawab juga rendah. Mereka tidak kooperatif di dalam mempertanggungjawabkan apa yang telah mereka buat. Jika mengandalkan demokrasi sebagai gerbang kebebasan, ya bertanggung jawab jika ada yang tersinggung. Pada sisi lain itu juga dijamin demokrasi.

Benar, pada dasarnya bukan pidana untuk alam demokrasi, ketika itu berbicara. Jawab dengan konten yang sama. Itu baru namanya demokrasi. Apalagi pengerahan massa, bunuh, bakar, dan sejenisnya. Itu alam bar bar bukan ala demokrasi.

Masih sebatas keakuan, egoisme, dan sektarian. Kesamaan ini dan itu, namun ketika mendapatkan sebentuk jawaban ngamuk tidak karuan. Padahal alam demokrasi seharusnya tidak demikian. kedewasaan sangat dijunjung tinggi. Tidak malah dipertaruhkan pada posisi paling rendah.

Perlu waktu untuk dewasa. Tidak mudah terprovokasi apapun alasannya. Alam demokrasi namun masih senggol bacok perilakunya. Dikit-dikit tersinggung, marah, ngamuk, bakar, bahkan bunuh. Ini bar barisme.

Dunia politik ternyata setali tiga uang. SBY dan barisan sakit hati lain, banyak mereka, namun menggunakan SBY sebagai salah satu ikon mereka abai demokrasi. Mengapa?

Memposisikan diri penyeimbang, menolak oposan, yang sejatinya memang tidak ada, namun aling kenceng melakukan manufer bagi pemerintah. Ingat, tidak ada yang salah melakukan kritik, namun memiliki dasar yang cukup, bukan asal saja di dalam membalik fakta dan fenomena yang ada.

Demokrasi itu bertanggung jawab, bukan asal menjawab. Demokrat dan kadernya sering melebihi PKS yang menempatkan diri secara faktual pada posisi berseberangan dengan pemerintah. Apa yang dilakukan Demokrat dan jajarannya asal bicara untuk ketenaran AHY dan partai semata.

Bencana alam, kecelakaan, pandemi, dan aneka bentuk kejadian selalu menyasar Jokowi tidak semata sebagai presiden namun sering selaku pribadi. Ini mempertontonkan tampilan demokrasi yang ngaco. Keberadaan mereka menghianati namanya sendiri.

Tempo kekuasaaan dalam demokrasi itu terbatas. Lima tahun plus sekali lagi, sepuluh tahun maksimal. UU jelas, apa yang Demokrat lakukan sangat jauh berbeda. Mereka malah cenderung mau mengganti presiden yang konstitusional telah dipilih rakyat secara mayoritas.

Apa yang terjadi pada tiga sosok itu memberikan gambaran, bahwa alam demokrasi kita masih jauh dari harapan. Menang saja maunya, tidak siap apalagi mau kalah. Ini kan khas bocah. Ketika elit saja demikian, susah melihat akar rumput bisa tenang, damai, dan guyub.

Aslinya akar rumput tidak ada permasalahan. Semua gaduh karena provokasi elit dengan berbagai kepentingan. Semua memang harus dijalani. Di tengah hiruk pikuk kemajuan, masih saja penuh dengan manusia-manusia tamak dan rakus kuasa dan kekuasaan.

Bekerja keras. Jika sudah dilakukan ya hasil tidak akan menghianati proses kog. Semua akan sesuai dengan apa yang sudah dilakukan. Yakinlah.

Nah, mengaku Pancasilais, agamis, bahkan agama seolah Tuhan yang perlu dibela dan menjadi segala-galanya. Jika hasil masih jauh dari harapan, kan ada ranah kehendak Ilahi. Ke mana sih pemahaman yang demikian esensial itu?

Agama masih sebatas ritual formal. Apalan ini dan itu. Jangan tanya pengamalan, ketika sabar saja susah, bertanggung jawab apalagi. Malah senggol bacok lebih dominan dan menjadi sebentuk tabiat yang menakutkan.

Demokrasi kita memang  masih sebatas ritual, belum sampai bersikap secara demokratis. Menang-menang masih jauh dari harapan. Adanya adalah menang dan kalah. Maunya menang terus dan menang sendiri. Inilah khas anak-anak. Jauh dari  sikap dewasa. Demokrasi itu kedewasaan.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun