Memposisikan diri penyeimbang, menolak oposan, yang sejatinya memang tidak ada, namun aling kenceng melakukan manufer bagi pemerintah. Ingat, tidak ada yang salah melakukan kritik, namun memiliki dasar yang cukup, bukan asal saja di dalam membalik fakta dan fenomena yang ada.
Demokrasi itu bertanggung jawab, bukan asal menjawab. Demokrat dan kadernya sering melebihi PKS yang menempatkan diri secara faktual pada posisi berseberangan dengan pemerintah. Apa yang dilakukan Demokrat dan jajarannya asal bicara untuk ketenaran AHY dan partai semata.
Bencana alam, kecelakaan, pandemi, dan aneka bentuk kejadian selalu menyasar Jokowi tidak semata sebagai presiden namun sering selaku pribadi. Ini mempertontonkan tampilan demokrasi yang ngaco. Keberadaan mereka menghianati namanya sendiri.
Tempo kekuasaaan dalam demokrasi itu terbatas. Lima tahun plus sekali lagi, sepuluh tahun maksimal. UU jelas, apa yang Demokrat lakukan sangat jauh berbeda. Mereka malah cenderung mau mengganti presiden yang konstitusional telah dipilih rakyat secara mayoritas.
Apa yang terjadi pada tiga sosok itu memberikan gambaran, bahwa alam demokrasi kita masih jauh dari harapan. Menang saja maunya, tidak siap apalagi mau kalah. Ini kan khas bocah. Ketika elit saja demikian, susah melihat akar rumput bisa tenang, damai, dan guyub.
Aslinya akar rumput tidak ada permasalahan. Semua gaduh karena provokasi elit dengan berbagai kepentingan. Semua memang harus dijalani. Di tengah hiruk pikuk kemajuan, masih saja penuh dengan manusia-manusia tamak dan rakus kuasa dan kekuasaan.
Bekerja keras. Jika sudah dilakukan ya hasil tidak akan menghianati proses kog. Semua akan sesuai dengan apa yang sudah dilakukan. Yakinlah.
Nah, mengaku Pancasilais, agamis, bahkan agama seolah Tuhan yang perlu dibela dan menjadi segala-galanya. Jika hasil masih jauh dari harapan, kan ada ranah kehendak Ilahi. Ke mana sih pemahaman yang demikian esensial itu?
Agama masih sebatas ritual formal. Apalan ini dan itu. Jangan tanya pengamalan, ketika sabar saja susah, bertanggung jawab apalagi. Malah senggol bacok lebih dominan dan menjadi sebentuk tabiat yang menakutkan.
Demokrasi kita memang  masih sebatas ritual, belum sampai bersikap secara demokratis. Menang-menang masih jauh dari harapan. Adanya adalah menang dan kalah. Maunya menang terus dan menang sendiri. Inilah khas anak-anak. Jauh dari  sikap dewasa. Demokrasi itu kedewasaan.
Terima kasih dan salam