7 Fakta di Balik Baliho Politik
Hari-hari ini, pada heboh dengan keberadaan bendera asing di tengah menyambut perayaan hari kemerdekaan. Pun  baliho politis di antara keprihatinan bersama mengenai pandemi yang belum juga memberikan tanda mereda.
Membuat keadaan lebih gaduh dengan aneka tafsir, asumsi, dan juga analisis. Â Suka atau tidak, ya ini risiko demokrasi, masih latihan lagi. Belum lagi ditambah dengan mabuk agama dan sok tahu dan lupa atau tidak taat azas dan konsensus bersama.
Baliho Puan menjadi lebih ramai, penuh dengan narasi keriuhan, karena memang keadaan PDI-P sebagai pemenang dua periode ini dan keadaan tidak lebih mudah. Ini fakta yang membuat keadaan tidak sederhana apa yang terlihat di depan mata telanjang.
Padahal, jauh sebelum Puan hadir dengan baliho, AHY dan AMI, Cak Imin datang dengan banner mereka. Ini sepi karena memang beda kepentingan, mereka inilah yang meramaikan dan ditangkap dengan cepat oleh faksi-faksi yang tidak sejalan dengan apa yang Puan lakukan.
Beberapa fakta yang bisa dicermati, berikut;
Pertama, Puan bukan pelaku medsos. Padahal kini, media sosiallah yang lebih menjanjikan, meskipun tidak sepenuhya. Mau menggunakan media sosial sebenarnya gampang. Bentuk saja tim media, jauh lebih mudah, murah, dan berdampak gede.
Kedua, jika Puan tiba-tiba main medsos dengan menggunakan tim media, akan malu karena pernah menyindir Ganjar sebagai pemimpin medsos. (ingat ini politik lho ya.....). Jadi bukan tidak  mungkin ini adalah sebuah sarana permainan.
Ketiga, harga baliho dan segala sesuatunya itu sangat besar, mahal, dan tidak banyak bisa dijangkau oleh elit partai lain untuk menyiapkan dana demikian. Â AHY jangan ditanya, jauh sebelum Puan dia sudah duluan meskipun tidak cukup masif.
Keempat, mengapa hanya Puan yang menjadi sasaran tembak, padahal ada lebih dulu ANY, menyusul juga Airlangga, dan AMI. Kalau mau mengritisi atas nama pandemi ya semua dong, bukan hanya Puan. Itu baru bener dan tepat di dalam melakukan penilaian, menyeluruh.
Kelima, Â sangat mungkin ini dilakukan oleh kubu yang biasa bermain model demikian, namun kalah masif dan besar-besaran, jadi karena ngeper kemudian menjadikan itu sebagai modal menaikan diri dengan menendang rival dengan menggunakan atas nama pandemi.
Keenam, baliho sangat tidak efektif. Media elektronik saja tidak cukup menaikan nama-nama seperti Wiranto, Harry Tanu, atau juga Prabowo. Setiap waktu menghiasi layar televisi, toh hasilnya sama saja, tidak cukup efektif.
Ketujuh, pemilih makin cerdas. Lahirnya politikus dan pejabat pekerja yang dimotori Jokowi, Ahok, atau Risma telah mengubah paradigma pemilih. Kerja dan capaian prestasi yang bisa dilihat dengan gamblang. Ala-ala pencitraan apapun bentuknya sudah tidak laku.
Baliho, sebagai sebuah upaya menaikan citra diri sih sangat wajar. Suka atau tidak, di alam demokrasi yang masih banyak mengandalkan ketenaran, abai soal sudah ada gerak maju, prestasi dan kinerja, itu ya  harus diterima dengan lapang dada.
Menyaksikan langit menjadi penuh dengan wajah-wajah yang sangat mungkin tidak kita sukai, ya memang fase yang harus kita terima. Suka atau tidak, masih sebatas itu. Harapan bahwa  demokrasi bertumbuh membaik itu perlu dipegang sebagai keyakinan bersama.
Tahapan menuju kepada demokrasi yang dewasa makin jelas tergambar. Perlu kesabaran karena memang tabiat berdemokrasi dan berbangsa kita demikian. Semua ada waktunya
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H