Kelima, Â sangat mungkin ini dilakukan oleh kubu yang biasa bermain model demikian, namun kalah masif dan besar-besaran, jadi karena ngeper kemudian menjadikan itu sebagai modal menaikan diri dengan menendang rival dengan menggunakan atas nama pandemi.
Keenam, baliho sangat tidak efektif. Media elektronik saja tidak cukup menaikan nama-nama seperti Wiranto, Harry Tanu, atau juga Prabowo. Setiap waktu menghiasi layar televisi, toh hasilnya sama saja, tidak cukup efektif.
Ketujuh, pemilih makin cerdas. Lahirnya politikus dan pejabat pekerja yang dimotori Jokowi, Ahok, atau Risma telah mengubah paradigma pemilih. Kerja dan capaian prestasi yang bisa dilihat dengan gamblang. Ala-ala pencitraan apapun bentuknya sudah tidak laku.
Baliho, sebagai sebuah upaya menaikan citra diri sih sangat wajar. Suka atau tidak, di alam demokrasi yang masih banyak mengandalkan ketenaran, abai soal sudah ada gerak maju, prestasi dan kinerja, itu ya  harus diterima dengan lapang dada.
Menyaksikan langit menjadi penuh dengan wajah-wajah yang sangat mungkin tidak kita sukai, ya memang fase yang harus kita terima. Suka atau tidak, masih sebatas itu. Harapan bahwa  demokrasi bertumbuh membaik itu perlu dipegang sebagai keyakinan bersama.
Tahapan menuju kepada demokrasi yang dewasa makin jelas tergambar. Perlu kesabaran karena memang tabiat berdemokrasi dan berbangsa kita demikian. Semua ada waktunya
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H