Harapan Tidak Sekadar Optimis, di Antara Perpanjangan PPKM, Bantuan 2T, dan Emas Olimpiade
Mas olimpiade bukan dari sektor ganda putra yang sangat digdaya sekian lamanya. Malahan dari ganda putri yang sering mentok pada pertandingan lain pada babak semi final. Siapa menyangka Kevn-Markus malah sudah angkat koper lebih awal.
Kalkulasi, prediksi, dan analisis berbusa-busa bisa saja terbalik dengan sangat mudah, karena faktor X yang disematkan pihak yang kesulitan menemukan apa di balik itu semua. Dalam sepak bola ada istilah bola itu bundar. Sulit memprediksi hasil akhir sebuah pertandingan. Ada faktor-faktor yang kita tidak tahu dan bisa mengubahnya.
Usai pada seneng mendapat emas dari ganda putri, publik dikejutkan dengan penangkapan orang yang mengaku akan menyumbang 2T untuk membantu penanganan pandemi. Tak hendak membahas mengapa dan siapa serta mengapa itu heboh. Ada hal yang lumayan menggelitik adalah, bangsa ini terlalu banyak orang tamak, kikir, dan egois.
Harapan itu, kata Mgr. Ignasius Kardinal Suharyo adalah, ungkapan, sikap batin percaya apapun yang terjadi sudah ada yang mengatur dan indah pada waktunya. Pada sikap optimis, orang bisa jatuh menjadi pesimis jika tidak terjadi.
Mudahnya untuk memahami bisa melihat contoh berikut,
Optimis, orang menghadapi covid sangat optimis dan percaya diri akan berakhir. Ketika waktu yang ditunggu itu tidak jadi terwujud, frustasi, marah, jengkel, dan menyalahkan berbagai pihak sebagai tidak becus.
Harapan, dalam menghadapi pandemi dengan sabar menanti saatnya itu tiba, berakhir, dengan tetap menjaga prokes, tetap taat aturan yang diberikan pemerintah, dan tidak waton sulaya.
Vaksin dan tetap di rumah saja, mengurangi mobilitas, di tengah orang yang anti itu semua dengan sabar dan tabah adalah pengharapan. Jika optimis saja bisa runtuh untuk menggerutu.
Apa yang terjadi sebaliknya. Religius kenceng, tapi tamak, rakus, dan mengumpulkan, termasuk dengan nyolong dan menipu tetap melaju. Inilah masalah.