Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[CerMin] 2021, Kukira dan Seandainya 2012

6 Juli 2021   14:29 Diperbarui: 6 Juli 2021   15:15 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[CerMin] 2021, Kukira dan Seandainya 2012

Semester kedua 2021 aku merasa ada pada titik balik. Usai keluar dari pekerjaan lama dengan alasan yang  tidak perlu menjadi konsumsi publik, aku kini merintis sebuah lembaga nirlaba. Ini adalah upaya silih atas kesalahanku pada banyak pihak pada masa lalu. Hidupku aku kembalikan kepada sesama dan Tuhan.  Jatuh bangun dalam karir, pun keluarga aku alami.

Orang tua, sebagai orang dulu, tidak mau mengatakan kuno apalagi kolot, toh ada baiknya juga. Tahun 12, kala aku ada pada puncak karir, mengejar jabatan demi jabatan, namanya juga laki-laki, di mana pekerjaan adalah segalanya.

Semua harus berakhir, ketika berhadapan dengan ultimatum Ayah yang menghendaki aku menikah. Iya, usai dilampaui satu adikku, kini tidak boleh lagi terlewati adik bungsuku. Dilangkahi satu sih masih wajar, kalau dua itu pamali.

Kala adikku meminta ayah untuk  diizinkan menikah, titah itu harus aku jalankan. Segera menemukan pelabuhan itu apapun risikonya. Keputusan yang jelas sangat gegabah dan ngaco sebenarnya.

Kini, 21, sembilan tahun berlalu, semua seolah berjalan biasa, normatif, bukan normal. Tampilan kami baik-baik saja, hanya orang terdekat yang tahu bahwa kami ada dalam masalah dan tidak baik-baik saja.

Kolegaku, rekan-rekan istriku semua ribut mengapa kami tidak punya anak. Oh iya, usai menikah, aku memutuskan untuk berhenti pada karir. Tabunganku cukup jika hanya untuk hidup biasa, bukan sederhana, catat itu. Hidup biasa.  Konteks biasa itu yang sewajarnya, apa yang kami butuhkan tersedia tidak kekurangan suatu apa.

Berangkat dari nol benar. Orang tuaku, yang melihatku tidak pada posisi aman lagi, ikut terlibat dengan ketersediaan kebutuhan dasar kami yang perlu beaya banyak. Jalan yang memang kami tempuh tanpa banyak persiapan, apalagi pengenalan pribadi secara mendalam.

Waku itu, tahun12 memang aku dekat dengan banyak lawan jenis. Mau gadis lajang, punya pasangan, atupun yang sudah pernah mengalami kegagalan. Ada pula yang ditinggalkan dan perpisahan abadi dengan suaminya.

Aku meyakini ini adalah kehendak Ilahi, ketika aku memilih seorang janda dengan tiga orang anak.  Pilihan yang bagi banyak orang itu adalah sebuah kesalahan, kebodohan, dan kecelakaan yang amat fatal. Tanpa mereka tahu latar belakang dan keadaanku yang sesungguhnya.

Sembilan tahun yang bak neraka ketika berdua di rumah, dan bak pasangan sangat serasi bagi orang-orang di luar sana. Ingat, yang tidak tahu dengan baik apa adanya kami. Ke mana-mana kami berdua, apalagi resepsi dan acara formal lainnya. Ideal yang sejatinya rapuh dan kamuflase.

Perbedaan yang sama sekali tidak pernah aku bayangkan ternyata menjadi persoalan yang mengerikan. Tampilan sih sangat biasa dan mudah dicitrakan sesuai kebutuhan kita.  Namun diriku ini tidak.

Teman-teman lamaku yang tahu aku penggilan fitnes, games, dan traveling mengenalku dengan tubuh atletis dan sangat berisi. Kini semua itu sirna. Aku menjadi gendut, apalagi perutku, menggelambir, pipiku mana bakpao mana pipi tidak tahu lagi. Cambang sudah tidak karuan, mana mau aku bercukur, selain tidak karuan, juga terselip lebih banyak abu-abu uban. Mataku yang duu cemerlang dan digilai para gadis dan lawan jenis, kini cekung, aneh, gemuk tapi mataku cekung.

Kegilaanku main motor dan mobil ke luar kota bahkan luar pulau merusak tubuh dan terutama mataku. Pelarian, atas nama hobi dan pelayanan. Aku ke sana ke mari atas nama ibadah, sejatinya hanya melarikan diri dari kenyataan yang sangat berat ini.

Maaf, aku setiap kali berdua di kamar dengan istriku aku tidak bisa apa-apa. aku impoten. Padahal ketika melihat ibu-ibu atau gadis seksi, mau film atau langsung, toh masih beraksi juga si dedek di bawah sana.

Aku bekerja dan bekerja, sedikit-demi sedikit keuanganku makin mendekati yang lama. Rongrongan keluarga lama istri dan juga keluarga besar istri membuatkan makin frustasi dan menekan jiwaku. Makin parah impotensiku.

Jauh sebelum tragedi atas pilihanku, aku sempat dekat dengan seorang gadis. Kami serius, sudah saling kenal dan aku benar-benar yakin bahwa ini adalah tulang rusukku yang aku cari. Semua berantakan karena prinsip. Itu sempat membuatku mau bunuh diri dan memutuskan mau membiara.

Tradisi hidup membiara dan melajang tidak ada dalam kehidupan agama kami, toh aku mencoba itu. Jelas saja diminta berpikir ulang dan aku melupakan itu ketika asyik berkarir.

Semua hancur berantakan, ketika suatu hari aku terkagum-kagum pada sebuah status media sosial seorang yang aku sama sekali tidak kenal. Sekali lagi ini adalah Kehendak Ilahi, ketika suatu hari kami dipertemukan dalam sebuah komunitas yang mengadakan sebuah acara.

Singkat kisah, kami bisa saling klop dalam banyak tema pembicaraan dan kami begitu dekat secara maya. Aku mulai lagi memperhatikan penampilanku, apalagi ketika ia ledek perutku mau melahirkan kembar empat kapan?

Aku kembali masuk gym dan itu yang membuat istriku bertanya-tanya. Ini ada apa, aku mulai lagi memangkas kumis dan jambang secara rutin, yang serasa sekian abad sudah aku abaikan. Semua berbalik pada masa laluku.

Aktivitas yang dulu menjemukan, satu demi satu aku sukai lagi, ada gairah baru untuk aku jalani. Penampilan mulai lagi aku perhatikan, minuman, rokok, dan jalan-jalan dengan berkendara sendiri ke luar pulau sudah aku stop. Jika ada memilih pesawat atau menggunakan sopir.

Teman-teman mulai bertanya-tanya, mengapa wajahku kini memerah lagi, tidak semrawut lagi. Entahlah, tapi aku bahagia dan aku merasa bahwa hidupku bisa berarti bagi semakin banyak orang.

Relasiku dengan pasangan masih relatif sama. Kata si dia, ini sih soal komunikasi, dan keras kepala kami sama. Masing-masing mempertahankan ego dan keadaan kami. Menang kalah menjadi prioritas, padahal dalam keluarga adalah menang-menang.

Damai itu bukan tanpa konflik namun bisa mengatasi keadaan buruk itu menjadi lebih baik.

Sempat terlontar, seandainya,  2012 itu aku tidak ngaco, kini di 2021 aku akan bahagia. Apakah benar? Entahlah, aku tidak tahu dan tidak mau tahu.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun