Sabarnya Ganjar dan Mahasiswa Ini
Membaca berita dari Kompas.com, yang awalnya lagi tidak ingin menulis jadi membuka netbook dan menulis. Entah harus bagaimana menghadapi model orang begini ini. Wajar  ketika keadaan pandemi ini seolah malah makin naik bukannya melandai dan menghilang.
Bagaimana tidak, kala mahasiswa, ini bukan soal status atau pendidikannya, namun bagaimana berpikir rasional, logis, dan memiliki dasar argumen, bukan semata pokok e. Falsafah pokok e itu cenderung diajukan oleh orang yang terbatas pendidikannya.
Bisa dipahami, kalau seperti tetangga saya, yang memang sangat terbatas pengetahuan, pendidikan, dan pengetahuannya. Anaknya isolasi mandiri, eh dia malah terima jasa kerik masuk angin dan pergi ikut panen tetangga. Sampai di sawah kemudian limbung dan pulang. Hal yang bisa dimaklumi karena keterbatasan dalam banyak hal.
Kala mahasiswa yang ngotot dan merasa benar dengan pilihannya. Ada beberapa hal menarik yang layak dicermati;
Pertama, si penderita ini, sekaligus mahasiswa, mengatakan, jika tidak menggunakan masker adalah hak, pilihan, dan itu harus dihormati. Â Sangat menarik apa yang menjadi pemikiran dan sikapnya ini.
Kedua, ia mengatakan itu hak yang ia miliki dan harus dihormati. Â Mungkin dalam konteks lain, bisa dimaklumi, kalau itu adalah anak TK yang ngambeg mau mengenakan baju baru, bukan seragamnya. Â Lha ini mahasiswa pandemi pula.
Ketiga, ia mengedepankan hak, namun abai kewajiban, di mana ia wajib menjaga kesehatan diri dan sesamanya. Ini masa pandemi, keadaan luar biasa, bukan keadaan biasa. Pemikiran, perilaku, dan juga sikap tentu berbeda.
Keempat, si pelaku, dan juga sekaligus penderita ini mengaku selalu cuci tangan, bahkan bisa lbih dari dua puluh kali. Ada yang lompat, dan ini dalih, rasionalisasi. Mengapa?
Kelima, penularan ini benar, salah satunya pada tangan, yang kontak pada virus, namun jauh lebih mendasar adalah pada mulut. Tangan itu bukan yang utama. Mulut itu yang memegang peran vital. Maka sarannya adalah masker, bukan sarung tangan.
Keenam, droplet, air liur mikro yang keluar dari mulut menempel pada benda kemudian tersentuh dan bersalaman pada pihak lain, itu yang menjadi soal makanya diminta untuk sesering mungkin cuci tangan. Nah, apa yang terjadi dengan hal ini adalah,
Ketujuh, mahasiswa saja lepas membaca, memahami, dan mengerti apa yang mendasar dan apa yang tidak. Bagaimana pribadi lain yang pendidikannya tidak setinggi ini. Ini soal pola pikir yang logis, nalar, dan akhirnya mengambil kesimpulan juga benar bahkan tepat.
Kedelapan. Jangan salahkan pemerintah dan juga upaya penanggulangan pandemi ini seolah jalan di tempat. Â Mengerti yang esensial saja dipahami dengan sangat keliru, belum lagi kelompok SakTi, sakit hati, yang menggunakan segala momen untuk suksesi.
Kesembilan. Adanya faksi-faksi yang menggunakan segala isu untuk mengambil kekuasaan, makin jelas dengan pernyataan-pernyataan yang mengikuti pandemi ini. Lagi-lagi soal pikir dan soal tindak yang sama ngaconya.
Susah berharap bangsa ini akan cepat maju, berani bersaing dengan bangsa-bangsa besar di dunia, ya karena pola pikirnya cupet. Pekerja keras, pejabat berprestasi malah dipreteli, dihajar, dan yang tidak bisa bekerja dibiarkan, karena mendapatkan keuntungan dari sana.
Pembiaran, kebebasan yang ngaco, dan tidak suka bersaing membuat mental juang menjadi rendah. Meributkan hal yang tidak mendasar, yang mendasar malah diabaikan.
Ini bukan sepele, namun sangat mendasar dan penting, ketika orang kacau dalam menghargai hak dan abai kewajiban. Bisanya menuntut namun abai mau berbagi. Egoisme kanak-kanak. Tibuh badan dewasa namun kejiawaan kerdil.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan
Sumber
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI