Enggan susah, kadang juga ogah susah jawab yang tidak mampu dalam pemikirannya, label nakal jauh lebih mudah. Padahal ini sebenarnya tanda kecerdasan. Memilukan.
Anak sekolah menghina Palestina dikeluarkan dari sekolah. Entah yang menjadi pertimbangan. Soal hina menghina keknya bangsa ini jagoan deh. Malah sudah melanglang buana. Pengantin sejenis dari Thailand, legal di sana saja diceramahi ala moralis sini. Mereka ngambeg.
Belum lagi caci maki, ibu-ibu dan mbak-mbak yang viral kemarin. Hanya modal meterai cemba selesai, lha ini yang dihina Palestina kog dikeluarkan dari sekolah. Lihat saja tayangan media sosial elit politik kita menyangkut presiden seperti apa kata-katanya. Kog masih saja menerima gaji dari negara?
Tentu saja artikel ini tak hendak membela si pelajar melakukan penghinaan kepada siapapun. Namun ada contoh yang lebih lagi harusnya hukumannya malah melenggang dan bebas.
Tidak juga hendak membuang sampah ke rumah tetangga agar halaman tetap bersih ala politikus. Ketika ditangkap akan mencari kesalahan pihak lain yang diklaim lebih gede. Tidak demikian. Namun, sikap yang sama, konsisten, dan  tidak tebang pilih.
Tiga peristiwa itu mengajarkan kepada kita untuk:
Pertama, berpikirlah sebelum bertindak secara matang.
Apalagi jika tidak sempat memikirkan dampaknya ya tidak usah berbuat. Demi viral, ngetrend, banyak kunjungan like, hati, atau komentar, orang kadang abai nalar dan keberadaan orang lain.
Kedua, kurangi sikap egois.
Memberikan empati dan toleransi. Hal yang jauh dari apa yang kita hadapi sehari-hari. Keakuan demikian besar dan lebih menguar selama ini. Apalagi menghadapi orang lain, dianggap musuh pula. Lha anak sendiri saja bisa dihukum dengan amat keras.
Ketiga, penghargaan pada liyan, the others, membuka diri bukan hanya fokus pada diri sendiri.