Jokowi dan Novel Memang Berbeda, Bina dan BeraniJujurPecat
Slogan aneh KPK berani jujur hebat diplesetkan menjadi berani jujur pecat oleh Novel Baswedan. Mengapa aneh? Jujur itu sebuah keharusan, karakter dasar, apa hebatnya? Justru ketika kejujuran kog hebat, berarti bejat.
Aneh lagi, salah satu tokokh besar KPK memplesetkan menjadi berani jujur pecat. Ini bukan fokus  tulisan, bisa berabe menghadapi mesin moderasi (admin). Saya lebih setuju melihat pernyataan Presiden Jokowi.
Bagaimana cara penyelesaian yang sangat menenangkan. Abu-abu politik kadang penting. Lihat saja selama ini, usai ada bocoran soal, satu kubu bersorak sorai bahwa akhirnya Novel bisa terbuang dari KPK dengan alasan yang sangat jelas, lugas, dan karena hasil test, kebangsaan pula.
Kubu Novel Baswedan dan kawan-kawan, termasuk pada mantan pimpinan, menarasikan, pelemahan KPK, membuang karyawan berintegritas, dan model-model yang sama. Kami akan lawan, dan puncaknya beranijujurpecat. Lagi-lagi pengkubuan tercipta dan itu adalah peluang baru untuk pengkutuban ala pilpres yang baru.
Titik tengah, pengampunan, dengan mengambil sikap, jangan dipecat, tetapi dibina. Ada kesempatan. Sepakat, hal yang model Jokowi banget dalam menyelesaikan perselisihan yang sangat ekstrem.
Perlu diingat, kala Rizieq Shihab datang, semua seolah lepas kendali. Pemerintah kalah oleh Rizieq dan kawan-kawan. Pendukung garis keras Jokowi melalui media percakapan saja mengaku kecewa, percuma didukung berdarah-darah, mengatasi satu orang saja kalah.
Wajar, karena amatannya terbatas. Berbeda dengan presiden yang memiliki instrumen sangat komplit, bisa memprediksikan akan seperti apa, bagaimana sikap orang dan lembaga-lembaga, dan ketika kebutuhan semua sudah tercukupi, selesaikan semua.
Rizieq datang dengan relatif aman, tanpa adanya keributan yang tidak terduga. Jajaran kepolisian dan militer bekerja dengan sangat keras. Memberikan pengamanan bagi  semua pihak, termasuk Rizieq Shihab juga termasuk yang mendapatkan perhatian agar tetap aman. Padahal sikapnya jauh dari yang sepatutnya.
Pun mengatasi malang melintangnya Munarman. Seolah orang yang tidak bisa tersentuh oleh hukum. Malah penangkapannya sangat sepele, hanya menjelang buka puasa, tanpa sandal lagi. Ini, kalau gegabah, grusa-grusu bubar semua.
Nah, menghadapi meradangnya Novel dan kawan-kawan ini, dengan deretan gerbong panjang yang mengikuti, membela dengan segala kekuatan jaringannya, dampak buruk bisa terjadi. Bahasa halus dengan sejak awal kebalikan dari pernyataan Novell Baswedan itu jelas maksudnya. Mau membuat tenang, pada sisi lain mau ricuh.
Gegap gempita, penontaktifan kata Novel, dibantah oleh pihak KPK, bukan penonaktifan, tetapi bekerja seturut perintah atasan. Jelas mau meredam, satunya membakar. Â Kepentingan yang berbeda.
Pernyataan Jokowi, cara baru di Indonesia, adanya pengampunan. Mirip komunisme di Thailand, meskipun ragu dengan karakter dasar orang-orang sini, tetapi layak dicoba. Â Ada harapan dan cukup berbeda dengan model lama yang kadang membuat makin meradang dan ribet.
Pembinaan. Wajar sih, adanya remidi, tapi, jangan kaget akan banyak hasutan, kata-kata kecewa  dan sebagainya karena keadaan ini. Minimalisasi keadaan agar lebih dingin, tanpa melibatkan pihak luar  jauh lebih penting.
Narasi yang beredar di luaran sudah kelewatan dan malah mempertontonkan mana yang benar dan salah. Ngototnya merasa diri baik dan benar secara berlebihan jelas mudah bagi polisi membaca ke mana si penjahat mau bergerak. Ingat, ada polisi juga di KPK, jadi mereka paham cara atau alibi penjahat ketika menyembunyikan perbuatannya.
Kegaduhan bukan harus dijawab dengan sikap keras. Mengalah untuk menang juga penting. Sikap yang jarang dimiliki elit kita. Mengalah dengan menahan diri, sudah berkali ulang dijalankan, lihat contoh-contoh di atas.
Sikap rigid kadang sangat merugikan. Padahal sangat mungkin di dalam pembinaan itu salah satunya adalah tidak mendapatkan tanggung jawab sebagaimana awalnya. Nah, apakah tahan orang yang biasa memerintah, kini adalah bawahan biasa? Â Sangat mungkin mereka akan keluar sendiri bukan dipecat sebagaimana kehendak mayoritas publik.
KPK perlu pembenahan. Keadaan sudah tidak baik, karena terlalu banyak narasi, asumsi, dan itu tentu menyita kepercayaan publik. Melakukan OTT saja tidak lagi dipercaya, kan bahaya bagi keberadaan lembaga ini.
Masalah itu salah satunya ya karena memang adanya aturan yang pada masa lalu bisa menjadi alat bagi pihak-pihak tertentu untuk ngendon pada satu bidang. Orang ada batasnya, jenuh atau sisi lain gila kuasa. Siapa yang bisa menjamin orang bertahun-tahun tetap pada jati diri yang semestinya? Di depan uang yang beredar demikian besar?
Lebih dari cukup hilangnya mas dua kilogram, truk yang raib, atau terbongkarnya pemerasan yang ganti dengan penyuapan itu. sangat mungkin itu adalah fenomena gunung es, siapa tahu, karena KPK yang tidak tersentuh itu.
Sangat mungkin dengan UU baru ini, KPK menjadi lembaga yang membumi dan bisa diakses secara transparant semua hal yang memang sudah seharusnya. Contoh, perjalanan kasus, pelaporan, dan tentu keuangan dan anggaran yang ada.
Drama itu masih akan panjang. Menarik adalah apa yang dilakukan Presiden Jokowi, bertolak belakang dengan apa yang Novel Baswedan lakukan. Apakah ini simbolisasi keberadaan kedua pihak? Mangga silakan ditafsirkan sendiri.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H