Kedua, lebih cenderung menyelesaikan masalah dengan persoalan baru. Bisa saja sih, menggunakan jasa preman untuk keamanan kampung atau parkiran. Semua aman, karena yang lapar sudah mendapatkan penghasilan.
Konteks tertentu masih bisa diterima nalar sehat. Namun, jika itu adalah pelanggaran hukum dan aturan?
Ketiga, bisa jadi publik yang biasa tertib, taat aturan, dan setia pada tatanan hukum menjadi jengah, jengkel, dan memilih untuk ikut-ikutan rusak sekalian. Â Sudah terlanjut basah, mandi sekalian. Hal yang sangat mungkin, karena godaan untuk baik itu lebih gede dan susah.
Keempat, elit, permainan politik, yang memberikan peluang yang buruk menang atas yang baik. Cara-cara jahat saja bisa mengalahkan yang baik, mengapa harus capek-capek memilih menjadi baik, ketika ujungnya juga sama.
Miris, jika generasi muda berpikir demikian. Percuma ada pendidikan moral dan belajar agama. Tetapi ini adalah fakta yang jelas-jelas terjadi.
Kelima, perilaku munafik, beda antara perbuatan dan kata. Lamis seolah menjadi budaya. Pakaian,, atribut, dan ritual kadang menjadi standart umum, ketika mau menjadi ini dan itu. Namun perilaku, perkataan, dan  pola pikirnya sangat jauh.
Lihat paling gampang ya korupsi. Mengaku beragama, namun laju saja maling tanpa merasa bersalah. Malah masih cengengesan pula.
Jadi tidak heran, pelanggar malah menjadi duta, karena memang lingkungan hidup berbangsa kita sedang mengalami  keadaan yang tidak sehat. Upaya memperbaiki keadaan pun diganggu, digoyang, dan dijadikan musuh bersama.
Kebaikan malah menjadi hujatan dan ketika kejahatan malah menjadikan puja dan puji. Itu pun dengan sangat enteng dan terbuka di mana-mana. Apakah akan terus seperti ini hidup bersama kita sebagai sebuah bangsa?
Terima kasih dan salam