Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Duta dari Pelanggar Hukum dan Aturan, Krisis Identitas?

16 Mei 2021   13:28 Diperbarui: 16 Mei 2021   13:33 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemarin, ada ibu-ibu ngamuk dan mengumpat dengan kata-kata kaki empat. Jadi kepikiran, jangan-jangan nanti  jadi duta etika, duta bahasa elok, atau duta entah apanya. Mengapa? Karena demikian banyak duta-dutaan di sini berasal dari para pelaku pelanggar hukum dan aturan.

Ada siswi SMA yang marah pada polwan bertahun lalu, merasa pamannya ada bintang dua di kepolisian.  Ujungnya malah jadi duta.

Dewi Persik yang ngotot menggunakan jalur Transjakarta diangkat jadi duta Transjakarta. Kolega artisnya, Zaskia Gotik yang menggunakan Pancasila untuk bahan candaan, pun jadi duta Pancasila.

Baru-baru ini ada dua berkaitan dengan protokol kesehatan yang dijadikan duta, usai menjadi penolak aksi positif dengan prokes. Satu, petugas di sebuah masjid yang merasia pengguna masker. Eh dijadikan duta penggunaan masker.

Kedua, orang yang memaki orang bermasker di pusat perbelanjaan, yang ia anggap sebagai sia-sia. Lagi dan lagi, jadi duta prokes.

Agak lama, ada orang main sepeda motor yang membayahakan  di jalanan. Apa yang terjadi? diberi motor dan jadi duta, entah duta apa, gak perhatian. Sudah malas membaca hal demikian.

Pengamat dari Unair Surabaya, mengatakan bagaimana pelanggar menjadi duta?  Mau menggerakkan, menganimasi, memotivasi bagaimana, jika publik malah bisa jadi mencibir dan malah sudah tidak lagi percaya.

Beberapa hal layak dilihat lebih dalam,

Pertama. Ini soal identitas. Jangan-jangan sudah demikian kritis identitas bangsa ini. Susah membedakan mana baik dan buruk. Mana benar dan salah,  sikap yang tercermin dari banyak aspek kehidupan bersama.

Tata negara, de jure adalah presidential, namun faktanya dewan alias legeslatif demikian kuatnya. Pada sisi lain mereka adalah sapi ompong yang tidak pernah ngapa-ngapain.

KPK di mana lembaga yang berjibaku pada urusan menangani korupsi, toh banyak kejanggalan dan keanehan dan sangat mungkin adanya praktek korupsi dalam aneka bentuknya di sana. Ini kan sangat ngaco.

Kedua, lebih cenderung menyelesaikan masalah dengan persoalan baru. Bisa saja sih, menggunakan jasa preman untuk keamanan kampung atau parkiran. Semua aman, karena yang lapar sudah mendapatkan penghasilan.

Konteks tertentu masih bisa diterima nalar sehat. Namun, jika itu adalah pelanggaran hukum dan aturan?

Ketiga, bisa jadi publik yang biasa tertib, taat aturan, dan setia pada tatanan hukum menjadi jengah, jengkel, dan memilih untuk ikut-ikutan rusak sekalian.  Sudah terlanjut basah, mandi sekalian. Hal yang sangat mungkin, karena godaan untuk baik itu lebih gede dan susah.

Keempat, elit, permainan politik, yang memberikan peluang yang buruk menang atas yang baik. Cara-cara jahat saja bisa mengalahkan yang baik, mengapa harus capek-capek memilih menjadi baik, ketika ujungnya juga sama.

Miris, jika generasi muda berpikir demikian. Percuma ada pendidikan moral dan belajar agama. Tetapi ini adalah fakta yang jelas-jelas terjadi.

Kelima, perilaku munafik, beda antara perbuatan dan kata. Lamis seolah menjadi budaya. Pakaian,, atribut, dan ritual kadang menjadi standart umum, ketika mau menjadi ini dan itu. Namun perilaku, perkataan, dan  pola pikirnya sangat jauh.

Lihat paling gampang ya korupsi. Mengaku beragama, namun laju saja maling tanpa merasa bersalah. Malah masih cengengesan pula.

Jadi tidak heran, pelanggar malah menjadi duta, karena memang lingkungan hidup berbangsa kita sedang mengalami  keadaan yang tidak sehat. Upaya memperbaiki keadaan pun diganggu, digoyang, dan dijadikan musuh bersama.

Kebaikan malah menjadi hujatan dan ketika kejahatan malah menjadikan puja dan puji. Itu pun dengan sangat enteng dan terbuka di mana-mana. Apakah akan terus seperti ini hidup bersama kita sebagai sebuah bangsa?

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun