Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Isu PKI Kematian Ustad, Komunisme Thailand-Indonesia, antara Hukuman dan Pengampunan

13 Mei 2021   14:42 Diperbarui: 13 Mei 2021   14:56 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karl Marx. Sumber gambar: istimewa

Membaca kisah komunisme di Thailand, dalam sudut pandang spiritualitas. Melalui buku Cacing dan Kotoran Kesayangannya, Ajahn Brahm, kala masih biksu pengelana, bersamaan dengan hebohnya Asia Tenggara jatuh pada kekuasaan komunis.

Laos, Vietnam, dan sebagian Thailand sudah banyak memihak pada komunis. Orang-orang muda, mahasiswa, dan kaum terpelajar meninggalkan bangku kuliah dan pergi ke hutan-hutan. Tinggal menunggu waktu Thailand menyusul tetangganya.

Hal yang dilihat dengan cermat oleh raja dan pemerintah Thailand saat itu. pengaspalan jalan yang mulai rusak, jalan-jalan kampung diperbaiki, listrik-listrik makin melayani pelosok, bendungan-bendungan kecil dibangun dan diperbanyak untuk menunjang pertanian. Petani kecil dari pelosok sedikit demi sedikit berkembang.

Tentara tahu dengan baik dan pasti di mana kantong-kantong komunis berdiam dan membangun kekuatan. Mereka kenal karena toh tetangga juga. Cara mereka menghadapi bukan dengan bedil, namun dipameri jam tangan baru dan radio yang menyiarkan lagu-lagu Thailand.

Mereka akhirnya keluar hutan dan kembali kepada negara. Apakah mereka dihukum?  Tidak, mereka kembali seperti sediakala, bahkan, bagi elitnya ditawari jabatan yang cukup menjanjikan. Konon, pada saat buku ditulis, ada menteri yang dulunya adalah petinggi komunis.

Membaca ini jadi teringat, bagaimana komunisme di Indonesia, bahkan hingga detik ini masih menjadi momok dan sering dikait-kaitkan dengan isu terkini. Padahal mengalami yang sama dengan Thailand. Perbedaannya adalah pengampunan dan hukuman.

Thailand memberikan kesempatan, bahkan pengampunan. Tidak mnjadi noktah menghitam bahkan diulang-ulang, mungkin identik dengan pemberontakan selain komunis, ala Permesta, DI-TII yang masih kembali sebagaimana warga negara lainnya.

Komunisme ala Soeharto memang dimanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan dan labeling bagi pihak yang berseberangan oleh penguasa Orba. Jadi, penggunaan dan pendekatannya jauh berbeda dengan kisah di Thailand.

Hukuman dan Pengampunan

Di Thailand, sangat mungkin tidak akan menjadi isu yang sangat sensitif, karena benar-benar diobati pada akarnya, yaitu kemiskinan. Adanya pengampunan dari kerajaan dan pemerintah bagi pihak yang sempat  salah jalan.

Berbeda di sini, represif, bahkan dengan cap yang sampai keturunan sekalipun dilabel yang sangat mendarah daging dan tidak bisa dicabut dengan upaya apapun, selain reformasi dan Gus Dur menjadi presiden.

Hukuman, pembuangan ke Pulau Buru, disingkirkan dari ASN, BUMN, dan pensiun muda bagi yang hanya simpatisan. Jangan kaget, berita pemecatan calon PNS atau militer, padahal hanya tinggal pelantikan, jika litsus, penelitian khusus menyatakan ada indikasi terlibat OT. Ingat, indikasi, wong kadang itu keturunan kedua dan ketiga.

Generasi 70-80-an masih paham keadaan ini. Betapa mengerikannya, KTP dengan cap khusus, wajib lapor di Kodim, paling mengerikan ya propaganda film G-30 S yang setiap tahun diulang.

Mengerikannya, ini pun dipakai oleh politikus berikutnya untuk mendeskreditkan pihak lawan. Lihat saja sejak pilpres 2014 hingga kemarin, kematian almarhum Ustad Tengku Zul masih menggunakan paradigma penguasa PKI untuk membunuh para ulama katanya.

Pengalaman hampir setengah abad masih demikian menjerihkan karena hukuman, labeling, dan tekanan untuk menyudutkan lawan politik. Ini memang permainan tingkat tinggi oleh penguasa masa lalu.

Upaya rekonsiliasi saja masih sering dilingkupi dengan prasangka dan praduga, sematan prokomunis dan seterusnya. Padahal jelas-jelas sudah ada TAP MPR-nya untuk melarang itu. Lain, ketika HTI-FPI juga terlarang, masih banyak yang berani mencoba dan bangga dengan identitas mereka.

Permainan agama dan politik yang memang disengaja Belanda, dilanjutkan Soeharto, dan generasi berikut pemujanya membuat keadaan lebih buruk.  Narasi pengulangan yang itu-itu saja. Miris, kita masih berkutat dengan itu-itu saja.

Isu dan narasi tidak masuk akalpun dipercaya, ketika mengaitkan agama dan komunisme. Ideologi yang hanya laku di Indonesia, bagi sebagian kaum halu saja. Mana ada komunisme, siapa yang membatalkan TAP MPR.

Tidak akan bisa selesai, karena berbeda dengan Thailand yang menyelesaikannya dengan pengampunan. Merangkul dan mengatasi masalah. Lha di sini, malah menjadi komoditi menghantam rival.

Mengaku beragama, namun malah takut dan yakin hantu, termasuk hantu komunisme. Iman model apa coba?  Politisasi agama yang mengarah pada mabuk agama membuat keadaan jauh lebih buruk. Generasi ini, sudah banyak yang tidak paham lagi PKI dan komunisme, namun latah dan ikut-ikutan hanya kata orang.

Memperbaiki sejarah dan mengadakan rekonsiliasi, islah, itu jelas perlu kejernihan budi, kebesaran jiwa untuk mengakui salah dan khilap. Semua korban, ada pula semua terlibat sebagai pelaku dalam bantai membantai.

Ketika smua merasa menjadi korban dan menjadikan pihak lain sebagai pelaku, jangan harap, hantu komunisme akan menjadi alat propaganda pihak-pihak minim prestasi untuk menggoyang pemerintahan.

Sayang, potensi kita, bangsa ini sangat kaya raya, untuk bisa menjadi sesuatu harus ada kedamaian, termasuk akan masa lalunya, di mana ternyata malah belum bisa selesai. Malah masih saja dipakai oleh bahkan pihak yang sudah tidak tahu menahu.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun