Membaca kisah komunisme di Thailand, dalam sudut pandang spiritualitas. Melalui buku Cacing dan Kotoran Kesayangannya, Ajahn Brahm, kala masih biksu pengelana, bersamaan dengan hebohnya Asia Tenggara jatuh pada kekuasaan komunis.
Laos, Vietnam, dan sebagian Thailand sudah banyak memihak pada komunis. Orang-orang muda, mahasiswa, dan kaum terpelajar meninggalkan bangku kuliah dan pergi ke hutan-hutan. Tinggal menunggu waktu Thailand menyusul tetangganya.
Hal yang dilihat dengan cermat oleh raja dan pemerintah Thailand saat itu. pengaspalan jalan yang mulai rusak, jalan-jalan kampung diperbaiki, listrik-listrik makin melayani pelosok, bendungan-bendungan kecil dibangun dan diperbanyak untuk menunjang pertanian. Petani kecil dari pelosok sedikit demi sedikit berkembang.
Tentara tahu dengan baik dan pasti di mana kantong-kantong komunis berdiam dan membangun kekuatan. Mereka kenal karena toh tetangga juga. Cara mereka menghadapi bukan dengan bedil, namun dipameri jam tangan baru dan radio yang menyiarkan lagu-lagu Thailand.
Mereka akhirnya keluar hutan dan kembali kepada negara. Apakah mereka dihukum? Â Tidak, mereka kembali seperti sediakala, bahkan, bagi elitnya ditawari jabatan yang cukup menjanjikan. Konon, pada saat buku ditulis, ada menteri yang dulunya adalah petinggi komunis.
Membaca ini jadi teringat, bagaimana komunisme di Indonesia, bahkan hingga detik ini masih menjadi momok dan sering dikait-kaitkan dengan isu terkini. Padahal mengalami yang sama dengan Thailand. Perbedaannya adalah pengampunan dan hukuman.
Thailand memberikan kesempatan, bahkan pengampunan. Tidak mnjadi noktah menghitam bahkan diulang-ulang, mungkin identik dengan pemberontakan selain komunis, ala Permesta, DI-TII yang masih kembali sebagaimana warga negara lainnya.
Komunisme ala Soeharto memang dimanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan dan labeling bagi pihak yang berseberangan oleh penguasa Orba. Jadi, penggunaan dan pendekatannya jauh berbeda dengan kisah di Thailand.
Hukuman dan Pengampunan
Di Thailand, sangat mungkin tidak akan menjadi isu yang sangat sensitif, karena benar-benar diobati pada akarnya, yaitu kemiskinan. Adanya pengampunan dari kerajaan dan pemerintah bagi pihak yang sempat  salah jalan.
Berbeda di sini, represif, bahkan dengan cap yang sampai keturunan sekalipun dilabel yang sangat mendarah daging dan tidak bisa dicabut dengan upaya apapun, selain reformasi dan Gus Dur menjadi presiden.