Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Paul Zhang, Harapan, dan Faktualisasi Hidup Bersama

20 April 2021   18:48 Diperbarui: 20 April 2021   19:02 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Paul Zhang sudah menjadi tersangka. Saya tidak peduli agamanya apa, dan malas kalau dikatakan dan dikaitkan rasis. Mau dikarantina atau dianggap provokasi yo silakan. Tetapi cermati isi dengan kepala dingin, apa yang tertulis, bukan asumsi apalagi  hanya membaca judul, lebih ngaco lagi tudingan latar belakang saya semata.

Saya sangat tidak suka, model beragama dengan mengulik agama lain. Sama juga orang sudah punya rumah masih longak-longok rumah orang. Tidak sopan dan juga bisa dianggap mau maling. Mau rumahmu dianggap baik ya berbuatlah baik, bukan malah melempari lumpur rumah tetangga. Itu mungkin sesaat baik.

Pola yang ada memang masih cenderung demikian. Hanya mengejar label,  kemasan, bungkus, dan asesoris. Nah itu paling mudah memang dirusak, dikotori, dan dibuat buruk. Apakah isi akan sama buruknya? Sama sekali tidak, ketika penghayatan dan perihidup beriman mendalam dan mengusung isi.

Soal Paul Zhang ini, sebenarnya bukan hal baru, hal yang luar biasa, dan hal yang spesial. Hampir setiap saat kog ada. Lha masalahnya adalah ini dilakukan kaum kecil pada yang dominan. Reaksinya jelas seperti apa.

Kebetulan pula ada dua kejadian yang hampir bersamaan terjadi. Ada  mantan penganut Hindu menjadi penceramah bagi agama barunya. Ndilalah menyoal agama lamanya. Pelaporan berduyun-duyun.

Ada pula pemuka agama, alihan juga yang melabeli agama lamanya prosetan. Pelaporan tidak ada. Karena tidak dianggap penting dan tidak merusak isi juga. Hal yang biasa dilakukan penganut ini.

Nah menarik adalah,

Ketika Paul Zhang dipersoalkan dan menjadi tersangka. Melibatkan interpol segala, ini menjadi pintu masuk untuk menyelesaikan persoalan intoleransi yang makin menggejala dan awur-awuran. Mengapa demikian.

Narasi yang dilakukan oposan adalah, kriminalisasi ulama. Nah ketika Paul Zhang sudah tertangkap, penegakan hokum dilakukan. Semua narasi itu tidak akan mendapatkan lagi poin krusial.

Memang kubu waton sulaya masih akan berlaku sama saja. Narasi ngaco demikian, tetapi toh penegak hokum bisa melaju dengan lebih ringan. Persoalan ini tidak semata agama, namun soal politik dan ideologis yang sangat kentara.

Pemanfaatan Paul Zhang sangat  mungkin. Bagaimana  upaya provokasi selama ini adalah penyerangan oleh pihak gede kepada yang kecil. Peledakan, perusakan, pelarangan ibadah dan rumah ibadah, pemakaman, ceramah yang begituan terus berulang. Ini dinilai gagal. Nah model diubah, karena pernah sukses dengan kisah Ahok.

Jerman pula tempatnya. Tetapi tanggapan sangat sepi, mungkin karena Ramadan dan juga pengagaung rusuh sudah tiarap. Ini  tidak akan menjadi masalah berkelanjutan, malah menjadi berkah di mana sekali dayung tiga empat pulau terlewati.

Penanganan ibu dosen yang dinilai menistakan agama Hindu dengan mudah berlanjut. Mau menarasikan seperti apapun tidak bisa. Paul Zhang juga bisa dikatakan sebagai bukti. Ini adalah sarana untuk menenteramkan anak-anak tantrum yang biasa guling-guling.

Pun dengan penceramah lain yang biasa jualannya adalah caci maki dan menjelek-jelekan agama lama atau agama lain. Hal yang sudah saatnya dihentikan. Perlu dewasa dan makin bijak beragama dan beriman.

Dikit-dikit penistaan, tanpa tahu esensi dan maksudnya. Emosional dan abai rasional yang masih diperlukan di dalam hidup bersama.

Apa yang harusnya dilakukan?

Bangunlah agama, beriman untuk banyak belajar agama, imannya sendiri. Tidak perlu menengok, apalagi malah isinya berkomentar  atas agama lain. Ini upaya memperbesar persamaan bukan perbedaan. Kalau mengulik beda, ya sangat gampang.

Kekayaan agama itu sangat luar biasa. Nah kajilah itu, pelajari dengan mendalam. Hal-hal menarik ada di sana. Tidak perlu antipati, dan tidak akan mengubah keyakinan dan keimanan. Di HP dan laptop saya ada Kitab Suci, ada juga Alqoran, DKV II, KHK, sebagai pengetahuan, tidak akan mengubah apapun bagi saya.

Jika itu yang dilakukan, tidak akan ada waktu dan energy mengurusi agama lain. Untuk apa sih? Menang? Kemudian mengajak orang lain berpindah?

Sertifikasi pemuka agama dan penceramah. Ini mendesak. Siapa yang menolak juga sudah dipahami kog, mereka-mereka yang memang tidak berkompeten. Lebih molitik dari pada ceramah agama.  Nah inilah tugas dari ormas keagamaan, lembaga agama untuk mendidik, mendisiplinkan, dan membina umat masing-masing berjalan pada koridor yang semestinya.

Ini bukan apa agamanya, atau sama atau beda dengan saya, fenomena yang ada dalam semua agama dan pelaku beragama. Wong ada misionaris, ada tugas untuk menyiarkan, yow ajar ketika ditafsirkan untuk membuat orang yang berbeda menjadi sama.

Masalahnya adalah, menggoda yang berbeda, bahkan melabeli dengan hal yang sangat buruk. Melupakan kemanusiaan dan kebangsaan. Padahal di pasar itu orang jualan baju, jual sayur berderet juga tidak saling hujat, baik-baik saja. Ada yang laku juga tidak kemudian iri dan menjelek-jelekan.

Hati-hati ini bukan soal agama sejatinya, namun ideologis, yang masuk pada ranah politik. Hokum menjadi penting, agar keluhan masyarakat   itu juga didengar.

Negara akan baik-baik saja dan makin baik. Responsnya masih wajar dan tidak berlebihan. Permainan dan perilaku politiknya tidak cukup kuat. Harapan baik makin jelas terlihat.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun