Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Brutus, Arok, Demokrat, dan Ranah Etis Berpolitik

30 Maret 2021   08:09 Diperbarui: 30 Maret 2021   08:23 1031
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Era modern, ketika kebebasan berpendapat dan berekspresi mendapatkan ruang, orang bisa dengan sangat bebas mengemukakan pendapat, gagasan, ide, dan kadang penghakiman. Mudah terbelah untuk ikut pro dan kontra karena kepentingan dan juga kapasitas melihat sebuah kejadian dengan kaca mata masing-masing.

Sangat mungkin si A dengan kasus yang sama, dimaknai berbeda oleh dua orang sahabat atau saudara. Padahal kapasitasnya tidak cukup untuk melihat itu secara utuh, menyeluruh, dan seluas mungkin.

Peran media, apalagi media sosial sangat besar. Mereka corong yang sangat mungkin mengubah pendapat dan persepsi.  Karena, keadaan literasi anak bangsa yang sangat rendah.

Kini, Demokrat sedang menghadapi kasus laiknya Caesar dan Brutus itu. wajar ketika kubu Cikeas menyematkan Moeldoko sebagai Brutus era modern, milenial, dan kekinian. Toh wajar pula jika Moeldoko mengklaim dirinya adalah pihak yang diberikan mandat oleh para kader yang sakit hati dan merasa menjadi korban.

Ini adalah sudut pandang yang tidak akan pernah berakhir. Bicara etik, boleh atau tidak, baik atau jahat itu kembali pada nurani masing-masing.  Masalahnya adalah, adakah nurani itu selalu menjadi pembimbing dalam menyikapi kejadian sehari-hari.

Jangan sampai malah menuntut orang beretika, eh dirinya sendiri adalah pelanggar ranah etik terlebih dulu. Sepakat bahwa hukuman sosia menimpa parapelaku pelanggar ranah etik. Nah, apakah sudah tepat, para "penghukum" ini juga paham dengan sejelas-jelasnya apa itu hukuman sosial, apa yang terjadi di dalam kondisi yang ada, dan sebagainya. Ini pelik.

Brutus itu korban Longinus, demikian pemahaman yang sangat mungkin dimengerti publik. Longinus yang iri, merasa tidak suka kemudian menghasut sahabat Caesar. Lihat yang di"tegur" Caesar adalah Brutus. Peran Brutus lebih besar dalam cara pandang dan paradigma Caesar karena ia adalah sahabatnya sendiri.

Perilaku Longinus dipicu atas kapasitas dan keinginan yang tidak ditunjang dengan cukup. Ia menjadikan sahabat musuhnya untuk menjadi senjata andalan. Padahal lihat saja hari-hari ini, begitu banyak orang merasa layak menjadi ini dan itu tetapi kapasitas, dan kemudian penilaian publik tidak mendukung.  Yang terjadi adalah kasak-kusuk, menjadikan pihak lain sebagai musuh bersama tanpa dasar.

Reputasi Caesar menjadikan pihak lain ngeri, dan kemudian membuat konspirasi jahat dan membunuhnya sebagai jalan untuk mengambil kekuasaan. Hal yang sama terjadi pada era modern. Bagaimana mereka juga mengambil kekuasaan dari tangan orang lain dengan aneka cara.

Bisa dengan KLB, bisa dengan Sidang Istimewa, atau cara-cara lain yang seolah demokratis, sahih, dan beretika. Padahal belum tentu demikian.

Jauh lebih penting adalah, sikap pribadi. Bagaimana membangun pribadi yang beradab, mengedepankan ranah etis di dalam menjalani kehidupan, dan kemudian menjadikan itu sebagai panglima di dalam kehidupan sehari-hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun