Brutus, Arok, Demokrat, dan Ranah Etis dalam Politik
Pagi-pagi membaca renungan harian, mendapatkan sebuah inspirasi, bagaimana penghianatan itu berlangsung mungkin sepanjang sejarah manusia. Sama juga dengan pahlawan dan pecundang itu hanya sudut pandang.
Mau hero atau malah zero itu pada kutub yang berseberangan. Toh orang suka dengan model kutub demikian. Padahal sangat mungkin ada sisi antara keduanya. Ini yang menjadi dinamika hidup makin hidup.
Brutus, anggota senat sekaligus sahabat Caesar terkena bujuk rayu  Jenderal Romawi Longinus yang iri akan reputasi Caesar. Ketidaksukaan ini yang membuat sang jenderal menghasut senat.
Caesar yang lupa daratan mengangkat dirinya menjadi raja seumur hidup. Mereka, senat, di bawah rancangan Longinus mengadakan pesta di Teater Pompei. Istri Caesar sudah sudah melarang untuk hadir. Namun Brutus membujuk atas nama senat dan rakyat, agar tidak mengecewakan mereka.
Dua puluh tiga tusukan dan salah satunya adalah Brutus. Ia menusuk dan Caesar sempat melihat tangan Brutus memegang pisau yang menusuknya. "Et, Tu Brute?" Kau juga Brutus? Caesar dikepung 60 anggota senat dan meninggal karena kehabisan darah.
Pada akhirnya, si Brutus dan Longinus mati bunuh diri. Â Ini hukuman atas rasa bersalah yang ada di dalam diri mereka. Membayangkan jika mereka hidup masa kini, penghukuman sosial, apalagi media sosial akan seperti apa.
Sejarah Nusantara juga mengalami hal demikian. Arok menjadi sebuah tokoh melegenda dengan aksinya merebut kekuasaan dan permaisuri Tunggul Ametung. Lebih tragis lagi karena kematian sampai tujuh keturunan yang ia alami.
Masa ke masa selalu saja ada model demikian. Masa modern tidak kurang-kurang. Mungkin bisa menggunakan atas nama demokrasi, namun apa iya esensinya adalah demokratis? Itu kembali kepada keputusan masing-masing.
Fokus.
Menjadi menarik adalah, apakah fokus pada perbaikan diri, atau malah hanya mencari-cari dalih, pembenar, dan kemudian menyerang ke mana-mana? Hal yang sebenarnya tidak mendasar dan tidak memberikan perbaikan.