Di Balik Hoax Suap Jaksa dan Kasus Rizieq
Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan, penyebar hoax suap jaksa harus diproses. Hal yang seharusnya jauh-jauh hari dilakukan. Mirisnya ini kelihatannya pada orang biasa, warganet yang tidak memiliki jaringan, penggemar ribuan bahkan jutaan, dan pernah memiliki jabatan dan kekuasaan.
Dampak yang ia berikan, dengan hoax-nya, ataupun efek jera yang diberikan dengan penegakan hukum tidak cukup memberikan gaung.Â
Berbeda ketika itu adalah tokoh publik, mau figur politikus, artis atau selebritas, pemuka agama, atau mungkin birokrat. Jangan naif, lihat saja postingan mereka pada sosial media.
Jangan pula lupa bagaimana media bisa seenaknya membuat hoax, kemudian menghapus berita atau opini tersebut tanpa merasa bersalah.Â
Berlindung di balik UU kebebasan pers dan mengemukakan pendapat namun abai sisi edukasi dari media.
Polisi siber menjadi harapan. Namun apakah demikian pada akhirnya nanti? Masih perlu waktu dan layak diberikan kesempatan untuk seperti apa pada akhirnya nanti.
Kinerjanya akan seperti apa, apakah masih akan sama dengan tanpa keberadaan kepolisian dengan kekhususan itu? Belum waktunya menilai.
Masalahnya adalah, orang-orang biasa, menggunakan media sosial namun tidak paham UU ITE dan juga etika berkomunikasi di dalam dunia maya. Hal ini karena memang gegar budaya, lompatan kemampuan yang tidak sigap diantisipasi.
Keteladanan dan contoh dari elit yang biasa  menggunakan media sosial untuk pansos, pencitraan, dengan cara menghajar pihak yang kuat tanpa merasa bersalah. Mereka punya posisi tawar, jaringan, dan kemampuan mengelak. Nah ketika itu awam? Ya selesai.
Model elit kalau ketahuan belangnya akan mengatakan dibajak. Nah, kalau orang biasa, mana polisi keder untuk mengusut atau percaya dengan pengakuan mereka? Jelas tidak.