Demokrat, Luka Dedes, Umang, dan Anissa Pohan
Pengalaman bangsa dan leluhur negeri ini mengenai "kudeta" sangat panjang. Era kerajaan, paling fnomenal tentu saja kudeta Arok-Dedes pada Tunggul Ametung. Ken Arok yang preman, jawara kampung, bekerja sama dengan Ken Dedes untuk mengambil kekuasaan, dengan membunuh Tunggul Ametung.
Ken Dedes adalah permaisuri dari Tunggul Ametung. Konon karena keterpaksaan pernikahan keduanya. Apapun namanya, toh ia permaisuri dari sang Akuwu. Itu fakta. Konteks saat itu, perempuan toh tidak memiliki kehendak bebas. Tergantung laki-laki, penguasa pula.
Apakah ini emansipasi atau apa, bukan menjadi fokus pembicaraaan. Artikel ini hendak mengupas mengenai luka, perihnya kehilangan suami, yang dibunuh oleh "kekasih", padahal ia juga mengandung anak dari suami yang terbunuh. Pada akhirnya anaknya un dibunuh oleh saudara tirinya juga.
Konflik batin, suasana hati Umang, Dedes, dan SBY kog tampaknya mirip. Merasa kehilangan meskipun mendapatkan sesuatu, atau pernah memiliki dan terwujudnya keinginan itu. Pedih dan perih  tentu saja.
Umang, Ken Umang, adalah kekasih Ken Arok ketika menjadi jawara. Sebelum bertemu Ken Dedes dan kemudian menggulingkan kekuasaan. Apa luka dan rasa Ken Umang? Kehilangan, berbagi hati dan kekasih, dan kemudian anaknya pun berebut dan menjadi korban atas perilaku sang ayah.
Ibu dan perempuan mana sih yang tidak punya hati dan tidak merasa gundah atau terluka, untuk kehilangan anak dengan cara sangat tragis. Mungkin berbagi hati dan pria masih banyak kala itu dan bahkan hingga hari ini. Tuh lihat seminar poligami. Â Masih bisa diterima bahwa kondisi itu tidak begitu menyakitkan. Namun bagaimana kehilangan anak, dan itu adalah harapan akan masa tua. Anissa Pohan sewot itu bisa dipahami.
Ken Umang memang naik kelas. Hanya dari perempuan biasa, menjadi permaisuri dari Ken Arok. Apakah itu bisa menyembuhkan lukanya melihat anaknya berkelahi dan bertikai berebut kuasa dengan "saudaranya" sendiri. Memang bukan apa-apa dengan anak Tunggul Ametung-Ken Dedes, tetapi kan mereka hidup dan besar bersama.
Ken Dedes mungkin sudah merasa puas "membalas" pernikahan terpaksanya, atas bantuan siasat bersama Ken Arok, namun kehilangan anak dan buah hati serta suami sekaligus. Apakah ini sepadan? Tentu saja tidak.
Kegalauan, SBY, Anissa Pohan, kog nampaknya identik, sama, dan sebangun dengan apa yang mereka rasakan kala itu. Ken Dedes dan Ken Umang tidak bisa curhat, karena belum ada media sosial. Keuntungannya mereka tidak bertambah stres karena bullyan, cacian, dan jawaban sadis dari yang kontra dengan mereka.
Kini, Anissa yang sedang mencoba berbela rasa dengan sang suami. Warganet melihat itu usaha membela, padahal sangat berbeda. Mana sih istri yang tidak galau, melihat suaminya "teraniaya"? Pasti tidak ada bukan? Nah reaksi yang wajar sebagai perempuan, istri yang melihat suaminya "teraniaya". Tidak menjadi penting, apakah itu karma, konsekuensi logis, atau karena tuaian dari perilaku suami dan kerabatnya sendiri.
Perempuan yang konon lemah itu kadang lebih tegar. Karena mereka oleh budaya tidak dipersalahkan ketika menangis, merengek, dan mengeluh. Mereka lebih bebas dan leluasa. Bandingkan dengan laki-laki. Mengeluh saja sudah dihujat, apalagi menangis. Dunia runtuh bagi mereka.
Perempuan mengambil sisi penting menjadi penguat, dengan mengorbakan perasaan sendiri. Lihat saja Dedes, Umang, dan kini Anissa. Hujatan pada AHY ia ambil sebagian. Publik beralih pada Anissa. Lihat, bagaimana penghakiman, eh ternyata memang cocok AHY tidak jadi pejabat. Istri pejabat tidak usil dan ribut soal politik.
Komentar dan tanggapan warga juga normal saja. Bagaimana mereka melihat dengan kaca mata yang jauh berbeda. Anissa dengan konteks keluarga, suami, mertua, mungkin juga masa depan anaknya. Warganet memiliki pandangan yang menyeluruh dan itu tidak juga bisa disalahkan.
Politik itu permainan laki-laki. Mereka "berkelahi" dengan sepenuh jiwa raga. Nah apakah si perempuan itu juga tidak merasakan duka yang bapak, anak, atau suami mereka rasakan dan alami? Jelas tidak. Mereka merasakan, dan kadang lebih perih karena menjadi pelampiasan. Sikap mereka bisa sangat keras dan sadis. Membela buah kasih dan buah hati mereka dengan sepenuh daya dan upaya.
Luka yang tertoreh juga luka mereka. Mereka menjaga jarak ketika baik-baik saja. Namun ketika pasangan mereka tersentuh, mereka juga bersikap.
Iriana dan kini Silvi tampaknya berbeda. Mereka tertempa oleh alam dan  lingkungan yang berbeda. Sikap mereka bisa tenang, adem, dan tidak ambil peduli.  Pilihan yang tentunya telah mereka pikir, pertimbangkan, dan kemudian jalani.
Sikap ini tidak mudah, dan tidak juga ringan. Tetapi toh bisa. Pendamping yang seiring dan sejalan. Tahu politik itu seperti apa. Pribadi kuat dan  mampu mengelola untuk tidak meledak ke publik.
Keyakinan klasik, di balik pria hebat ada perempuan kuat itu bisa diterima nalar. Apakah mesti demikian? Belum tentu juga. Namun bahwa banyak yang demikian, itu fakta.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H