Menarik, usai isu kudeta dan riuh rendah serakah dan hibah, melebar ke makam almarhum Gus Dur, eh ada pula elit mereka yang menyoal Hambalang. Mengatakan malaikatpun tidak bisa membangunnya karena tidak ada anggaran.Â
Politikus ini menyoal karena dewan telah memberikan catatan, bahwa proyek ini sedang dalam masalah hukum.
Apakah demikian sulit atau susahnya kasus Hambalang ini, sehingga malaikatpun tidak bisa? Usai melihat-lihat, membaca, dan mencerna bahasan sejak tahun 2016, ternyata tidak seekstrem itu. lucunya lagi, malah orang Demokrat yang suka atau tidak adalah biang keadaan mangkrak.Â
Siapa yang bisa membantah kalau elit Demokrat masuk bui karena proyek ini?? Â Atau tidak percaya silakan cek di google, siapa saja yang terseret namanya karena proyek Hambalang.
Eksekutif, legeslatif, atau kader dan pengurus, jajaran top Demokrat ikut terseret dan terjun bebas dalam kasus ini. Ini fakta yang terjadi. Hukum sudah menyatakan demikian, susah untuk mengelak. Menjadi aneh dan lucu, ketika orang Demokrat, kolega mereka sendiri yang mengatakan, malaikatpun tidak bisa membangun.
Ternyata KPK hanya menyita dokumen, bukan proyek. Rekomendasi KPK bisa lanjut dengan catatan bahwa jangan sampai terulang kasus yang sama, sehingga perlu pendampingan ahli yang kompeten, termasuk pada kemungkinan dan catatan dari ahli. Tidak menyoal sama sekali kalau Hambalang tidak bisa lanjut.
Dewan yang menandai dan memberikan kuncian bahwa proyek bermasalah juga bisa mengubahnya, mengapa harus malaikat dibawa-bawa? Tren mainkan narasi bahasa agamis mulai menjadi gaya baru. Usai kata Tuhan tidak suka dan lagi kini hadir dengan malaikat tidak bisa membangun. Padahal hanya teknis komunikasi biasa.
Seharusnya politikus dari partai lain, bukan malah Demokrat yang mengatakan hal demikian. Contoh, partai lain akan mengatakan, malaikatpun tidak akan bisa membangun  jika anggarannya sudah habis disunati dari sana sini. Itu lebih pas. Menyoal ketidakadaan anggaran karena dewan sudah menandai proyek bermasalah itu tidak menjadi akhir dari segalanya.
Aksi yang sia-sia, malah memerciki muka dengan air ketika kader Demokrat berbicara Hambalang. Faktanya KPK sudah memberikan lampu kuning, kementerian PUPR pun sanggup, presiden sudah memberikan signal. Tetapi memang masih lebih banyak prioritas. Apalagi jika ranah politik yang masuk lebih ribet lagi.
Bendungan Tukul, yang dibangun Jokowi usai tertunda sekian lama saja oleh kader Demokrat masih dipersalahkan. Molor sejak dipegang Jokowi, tanpa mau tahu pembebasan lahan yang mangkrak dan tidak dilakukan apa-apa sejak mereka masih berkuasa. Ini hal sepele, kecil, namun mematahkan semangat membangun.
Jangan sampai nanti malah mereka tidak mau tahu soal kerugian negara, namun malah membanggakan itu sebagai proyek dan prestasi mereka. Memang hal yang remeh, tidak penting sama sekali model demikian, tetapi toh menghabiskan energi.
Masa lalu yang buram bukan untuk dilupakan, namun harus dijadikan pelajaran. Membangun itu perlu uang dan kadang uang itu menggoda. Nah ketika godaan itu ternyata menang, ya sudah, pembangunan yang menjadi korban. Tentu tidak cukup hanya mengakui demikian. perbaikan demi lebih baiknya anggaran negara digunakan dalam membangun negeri.
Dana yang sudah keluar itu sangat besar. Lebih baik dilanjutkan, ketika rekomendasi memang menyarakna demikian. jika rekomendasinya jangan diteruskan, lha bagaimana keputusan yang dulu itu bisa lolos dan menggelontorkan uang sebegitu besar dan ternyata tidak layak. Lebih ngaco lagi dari sekadar uang yang dikorupsi.
Ada masalah yang lebih mendasar, bagaimana proyek berjalan. Artinya semua uang negara habis tidak berguna hanya menjadi barang rongsokan yang tidak memiliki nilai lagi. Ahli-ahli yang berkaitan dengan bangunan, ilmu pertanahan, dan analisis lingkungan harus terlibat lebih serius.Â
Kejelasan mana yang lebih baik, lebih berdaya guna, dan kerugian negara lebih minim harus diambil. Ini soal minus malum, pilihan terbaik dari yang terjelek sudah harus dijadikan pilihan.
Hentikan permainan dan drama politik. Jangan jadikan lagi Hambalang sebagai bargaining politik namun sama sekali tidak  membawa dampak bagi bangsa dan negara. Pengalaman pahit dalam menggunakan anggaran negara jangan lagi diulang lagi dan lagi. Sadari itu penyakit yang harus diobati.
Demokrat juga kemudian merasa baik-baik saja, atau malah menyalahkan pemerintah seperti pengalaman bendungan Tukul lagi. Saatnya bersinergi bukan malah caci maki.Â
Memperbaiki keadaan itu perlu kesadaran pula, terutama yang terlibat dalam kerusakan. Tidak malah mencari-cari kesalahan pihak lain hanya demi menilai diri salahnya lebih kecil. Ini pendekatan kekanak-kanakan yang tidak patut.
Bangsa ini sangat besar, Budi Utama telah membawa kesadaran baru untuk persatuan, eh  malah kini kembali saling berebut benar dan tenar hanya demi kursi dan kekuasaan. Kampanyelah dengan prestasi bukan semata-mata sensasi. Rakyat makin cerdas, eh elit masih saja hidup dalam paradigma kuno dan masa lalu.
Terima kasih dan salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI