Masa lalu yang buram bukan untuk dilupakan, namun harus dijadikan pelajaran. Membangun itu perlu uang dan kadang uang itu menggoda. Nah ketika godaan itu ternyata menang, ya sudah, pembangunan yang menjadi korban. Tentu tidak cukup hanya mengakui demikian. perbaikan demi lebih baiknya anggaran negara digunakan dalam membangun negeri.
Dana yang sudah keluar itu sangat besar. Lebih baik dilanjutkan, ketika rekomendasi memang menyarakna demikian. jika rekomendasinya jangan diteruskan, lha bagaimana keputusan yang dulu itu bisa lolos dan menggelontorkan uang sebegitu besar dan ternyata tidak layak. Lebih ngaco lagi dari sekadar uang yang dikorupsi.
Ada masalah yang lebih mendasar, bagaimana proyek berjalan. Artinya semua uang negara habis tidak berguna hanya menjadi barang rongsokan yang tidak memiliki nilai lagi. Ahli-ahli yang berkaitan dengan bangunan, ilmu pertanahan, dan analisis lingkungan harus terlibat lebih serius.Â
Kejelasan mana yang lebih baik, lebih berdaya guna, dan kerugian negara lebih minim harus diambil. Ini soal minus malum, pilihan terbaik dari yang terjelek sudah harus dijadikan pilihan.
Hentikan permainan dan drama politik. Jangan jadikan lagi Hambalang sebagai bargaining politik namun sama sekali tidak  membawa dampak bagi bangsa dan negara. Pengalaman pahit dalam menggunakan anggaran negara jangan lagi diulang lagi dan lagi. Sadari itu penyakit yang harus diobati.
Demokrat juga kemudian merasa baik-baik saja, atau malah menyalahkan pemerintah seperti pengalaman bendungan Tukul lagi. Saatnya bersinergi bukan malah caci maki.Â
Memperbaiki keadaan itu perlu kesadaran pula, terutama yang terlibat dalam kerusakan. Tidak malah mencari-cari kesalahan pihak lain hanya demi menilai diri salahnya lebih kecil. Ini pendekatan kekanak-kanakan yang tidak patut.
Bangsa ini sangat besar, Budi Utama telah membawa kesadaran baru untuk persatuan, eh  malah kini kembali saling berebut benar dan tenar hanya demi kursi dan kekuasaan. Kampanyelah dengan prestasi bukan semata-mata sensasi. Rakyat makin cerdas, eh elit masih saja hidup dalam paradigma kuno dan masa lalu.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H