Arbain Rambey mengatakan hal yang jelas, lugas, dan terutama fokus pada apa yang ia kuasai dengan baik, profesional pada bidangnya. Fokus, tanpa menyoal siapa di balik photo, apa kepentingan photo, namun photo itu tempelan dengan dasar argumen kuat.
Kita  bisa belajar, pada kasus hutang saja. Bagaimana narasi yang ada ke mana-mana. Menyoal banyak pihak, dan kepentingannya pun bisa aneka macam. Ini karena memang tidak fokus pada esensinya.
Melepaskan asumsi, fokus pada gambar, bukan mengatakan kepentingan gambar itu dibuat, siapa pembuat, dan ada apa di balik itu. Hal yang biasa kita temui, tidak bicara konten namun menyoal siapa dan mengapa itu dibuat. Berlebihan. Arbain Rambay tidak menyoal siapa yang menayangkan photo tersebut, reaksi kemudianlah yang bukan Arbain yang membesar-besarkan.
Asumtif sangat terbuka dengan mengatakan, karena tempelen ini pihak pengunggah membohongi publik, pencitraan, dan lain-lain. asumsi dan opini sangat  mungkin benar, tetapi bisa juga salah. Berbeda jika itu dikemukakan sebagaimana Arbain mengomentari photo.
Meminimalisasi kepentingan. Â Sepanjang di dunia orang tidak akan pernah lepas dari kepentingan. Tetapi ada hal yang sangat minim untuk diambil. Cara mengomentari demikian karena memang tidak memiliki ebih besar kepentingan, sehingga ya apa adanya. Coba bayangkan jika itu politis pasti arahnya adalah pembohongan publik, melibatkan Anies pula.
Sangat terbuka kemungkinan, karena pemimpinnya biasa membual anak buahnya juga demikian. Atau yang lain, belajar lagi sana photografi, jadi boongnya gak kebangetan. Bisa dicek di dalam kolom komentar pada tayangan demikian.
Motivasi. Ini tentu berkaitan juga dengan asumsi, rekam jejak, dan ke mana arah mereka melakukan yang katanya kritik itu. Bisa benar kritik, bisa pula jatuh pada sinisme dan akhirnya nyinyir, bahkan kebencian. Ingat, doa salah dikit saja jadi dosa. Tuhan salah ucap bisa jadi hantu, dan sebagainya.
Asumsi bisa sangat minim dengan melihat rekam jejak yang bersangkutan. Ini membantu untuk melihat secara lebih jernih. Semakin tinggi orang dalam pengalaman, pendidikan, dan relasi, akan lebih sulit dibedakan mana yang tulus, pura-pura, atau bahkan kamuflase.
Apakah Pak JK, Rizal Ramli, Said Didu, atau yang lainnya salah? Bisa dilihat, di mana mereka keliru di dalam memaknai kritik. Mereka tentu paham, sangat tahu kog, kapasitas mereka tentu tidak ecek-ecek. Mereka pinter mengemas itu bahkan bisa membalikan keadaan dengan  terlihat seolah-olah baik-baik saja.
Hal ini memang harus kita hadapi bersama sebagai sebuah bangsa. Menghadapi persoalan yang memang perlu pemahaman dan pengendalian diri. Dalam satu rumah, satu keluarga saja sudah bermacam-macam perangainya, apalagi satu negara dengan penduduk 260 juta kepala lebih.
Kedudukan juga enak, manis, dan menyenangkan. Yang sudah biasa duduk di sana, enggan ketika diganti, dan apalagi penggantinya dinilai malah membuat kursi itu tidak nyaman. Konsekuensi logis atas perbaikan. Obat biasanya tidak enak, dan ketika berobat kadang juga malah tambah meriang.