Reaktif atas bendungan di tanah kelahirannya. Ini tentu mempermalukan, sebagai seorang presiden dua periode namun tidak berbuat banyak bagi tanah kelahiranya secara langsung. Apalagi netijen dengan cepat memperolok dengan membandingkan  pembangunan museum. Hal yang memang keterlaluan, membuat jengkel makin dalam.
Meredam isu kudeta yang makin meliar. Pola yang khas Pak Beye menghantam duluan, mungkin karena militer, gaya menyerang adalah peratahanan terbaik. Sayang bahwa beliau lupa pertahanan di barak, di belakang keropos. Terlalu lemah untuk dieksplorasi rival-rival politik. Tidak perlu ahli, sebatas awam dan netijen abal-abal pun bisa melakukan itu.
Menegaskan apa yang dinyatakan AHY namun tidak cukup berdampak. Bahasa yang berulang, namun lagi dan lagi, tidak cukup kuat landasan yang digunakan. Ingatan publik pun masih segr bagaimana perilaku kepemimpinannya. Sudah gagal malah diulangi dengan bahasa yang sama. Memang lebih luas, namun dasarnya itu sama persis.
Demokrat makin lebih menampilkan sisi religius dari pada nasionalisnya. Tidak salah, itu pilihan platfoorm partai. Namun, mempertontonkan kegamangan yang makin jelas. Miris ketika malah menghianatii ideologinya bahkan namanya sendiri. Demokrat, namun malah tidak demokratis, cenderung agamis, ultrakanan yang memilukan.
Keberadaan agama dan spritualitas tidak salah. Bagus malah, namun ketika itu menjadi landasan, dasar, dan jiwa dari laku dan ideologi, bukan semata menjadi jargon dan hanyamai istilah. Wong senyatanya jauh dari apa yang dinyatakan. Sayang sekaliber Pak Beye jatuh pada pemilihan cara berpolitik yang model demikian.
Aksi dan reaksi yang berlebihan itu telah merontokkan Demokrat, namun sayang masih saja menjadi satu-satunya jalan untuk terus melaju dengan cara demikian. Begitu banyak ragam cara bisa dilakukan untuk membradingkan citra baik partai. Mengapa harus memainkan narasi seperti ini terus menerus.
Lihat saja dalam beberapa pekan terakhir, nama Demokrat dan AHY meroket, namun dalam citra yang cenderung negatif. Pilihan-pilihan sikapnya salah dan keliru, perlu kejernihan di dalam menyikapi permainan politik ini.
Turun gunung, bukan hanya di tengah sangar emas dan menerima laporan. Lihat kondisi konkret masyarakat itu menghendaki apa dan seperti apa. Sayang, Â sudah terbiasa mendapatkan pelayanan, mana bisa mendengarkan. Mendengar itu mungkin gampang, tetapi mendengarkan itu susah.
Hanya sebuah reaksi yang tidak proporsional atas bendungan Tukul. Tantrum berulang ala Pak Beye. Seperti ini, https://www.kompasiana.com/paulodenoven/581bcb01c523bd8e5da906e0/humpol-tantrum-politik-sikap-penerimaan-jokowi-atas-kegeraman-sby
Terima kasih dan salam