Kritik itu pasti tidak akan menyebut fisik, mau jelek, gendut, atau buruk maupun cakep, olah pikir, karya, dan pemikiran yang menjadi fokus sebuah kritik. Jika mengatakan fisik itu sudah penghinaan dan juga bukan kritik. Mosok jelek kog kritik, malah menyoal ciptaan, kurang ajar namanya pada Pencipta.
Motivasinya kebaikan bersama, bukan kepentingan diri sendiri dulu. Nah selama ini dengan gampang kog dipilah mana yang demi kepentingan dan mana yang benar-benar rasa sayang pada bangsa dan negara. Yang mau memecah belah bangsa dan kepentingan pribadi serta kelompok itulah yang haram. Simpel.
Buzzer itu seperti apa sangat mudah dicek, siapa lingkaran pertemanannya, berapa usai akun, dan isi akunnya seperti apa. Sederhana, hanya tukang bagi, nyepam, memaki, tanpa karya sederhana sekalipun, status receh misalnya, jelas aromanya pesanan. Di Kompasiana juga dulu banyak, mereka tidak pernah nulis, tetapi merusak tulisan orang, menghakimi, mencaci maki, bukan isi artikel namun pribadi. Â Asumsi pula yang dikemukakan.
Keberadaan buzzer akan tersingkir dengan sendirinya, ketika media berperan dengan semestinya. Selama ini buzzer melakukan kritik, kadang juga mencaci maki, meluruskan pemberitaan, opini, dan artikel yang menyesatkan. Kadang memang masih ada caci maki, menghina, itu karena emosional, keterbatasan kemampuan, dan model membalas apa yang dilakukan.
Jadi, tidak perlu berlebihan dengan membinasakan buzzer segala, siapa sih yang dulunya menciptakan perang taggar dan menguasai media sosial? Hayo jujur dan mengaku jika ini adalah aksi dan reaksi. Masalahnya para pegiat aksi itu munafik, ketika dijawab dengan logika mereka ngamuk. Â Miris ketika itu menjadi jalan perjuangan, termasuk kelompok elit.
Terima kasih dan salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI