Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Cedera" AHY Membawa Demokrat Kedodoran

12 Februari 2021   12:59 Diperbarui: 12 Februari 2021   14:08 1105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cidera AHY Membawa Demokrat Kedodoran

Barcelona, kalau beli pemain yang tidak dari akademinya, biasa memainkan hanya hingga menit ke 60 atau paling banter 70. Jarang atau tidak pernah sampai selesai. Mengapa demikian? Program pembinaan dan daya tahan fisik memang hanya mampu bermain selama itu, tidak akan mamp penuh. Ketika sudah ditangai pelatig fisik, dalam dua tiga bulan terlihat beda, sudah mampu berlari, bermain secara full.

Timnas Indonesia pun demikian, siapapun pelatihnya biasanya mengeluhkan bahwa babak kedua drop. Hanya berjalan, visi bermain kacau, dan konsentrasi sudah buyar. Terlihat berat banget untuk berlari. Selalu terulang, program dibuat untuk meningkatkan stamina menjadi susah, ketika pola makannya masih sama saja. Makan di pinggir jalan dengan menu kenyang, bukan sehat, nikmat tanpa manfaat. Krupuk, gorengan, sambel, itu hanya demi lidah dan bibir yang merasakan enak, namun dampak bagi fisik atlet tidak baik.

Kemenangan di awal permainan bisa dikejar dan kemudian keadaan berbalik arah. Kesalahan-kesalahan sendiri karena fokus sudah buyar. Energi sudah habis sudah tidak lagi mampu berpikir jernih dengan cepat dan akurat.

Konon, salah satu alasan AHY dimundurkan dari militer dan banting setir menjadi politikus karena ada cidera yang susah menjadikannya militer berbintang. Masalah dalam salah satu organ tubuhnya sangat menghambat karirnya yang memberikan syarat kebugaran tubuh yang prima.

Pilihan presiden masih sangat jauh. Periode berjalan baru setahun, masih empat tahun lagi. Tetapi entah mengapa Demokrat malah sudah gas pol sejak awal.  Takutnya adalah, mereka malah sudah kehabisan daya, kreatifitas, dan kemampuan untuk menarik simpati publik pada waktunya nanti. Ingat, ingatan publik bangsa ini relatif singkat lho.

Coba bayangkan, hanya dalam seminggu mereka menghajar Jokowi dengan dua isu besar. Benar, bahwa mereka menjadi pembicaraan publik, menjadi tenar dengan cepat, namun jangan lupa. Ketenaran dalam kecemaran, bukan kemudian menjadikan publik berpaling untuk memilih.

Isu kudeta belum sempat menurun temperaturnya. Kondisi yang membuat AHY dan SBY babak belur dengan berbagai opini.  Malah ingatan publik dibawa kepada era Orba. Dugaan SBY terlibat dalam kudeta PDI sangat besar. SBY diam saja, susah mengelak dan membela diri tampaknya. Biasanya reaktif dan melakukan klarifikasi. Ini hanya diam saja.

AHY si penuding kudeta, malah kemudian dibuka keberadaannya di dalam  organisasi. Mmundur  2016, dan aklamasi menjadi ketua umum pada 2020. Baru empat tahun menjadi anggota partai padahal syarat minimal dalam AD/ART adalah lima tahun. Nah, terlihat, apakah ketika masih di dalam militer aktif sudah anggota partai? Jika demikian, malah melanggar sumpah prajurit.

Atau keteledoran membaca AD/ART? Ini sangat mungkin. Paling-paling akan datang pembelaan jika keadaan khusus. Tanpa perincian kekhususan di mana. Wajar sesepuh, pendiri, dan elit Demokrat meradang dan merasa jengkel, apalagi angka pemilih terus turun.

Eh malah elit yang lain menuding Jokowi menghentikan pembicaraan perubahan UU Pemilu demi Gibran untuk maju pilkada DKI 24.  Jadi timbul pertanyaan, jangan-jangan kebiasaan Demokratlah yang mempermainkan hukum, aturan, demi kepentingan sendiri dan sesaat. Kan biasa model demikian bukan? Orang mengenakan pakaian itu ya diukur pada badan sendiri. Pengalaman yang dinyatakan dan dibagikan.

Gibran itu bukan siapa-siapa. Apanya yang dijadikan rujukan untuk menjadi calon gubernur. Masih terlalu jauh. Belum terbukti secara nyata dalam kinerjanya. Mungkin di dalam usaha, ia telah terbukti mampu. Tidak serta merta demikian.

Memerintah, menghadapi birokrasi, berhadapan dengan dewan, masalah sosial, itu sangat pelik. Usai muda sangat mungkin kedodoran. Ekspektasi tinggi boleh, tetapi menilai dengan rendah juga boleh. Berelihan gagasan Gibran  calon Gubernur DKI. Pembuktian kinerja  Solo satu periode, sambil mematangkan pengalaman dan pengetahuan bertata negara.

Salah satu bukti, bahwa terlalu jauh Jokowi mengatur Gibran adalah pencalonan di Solo. Jika sudah direncanakan, tidak akan ada drama besar pencalonan, karena DPC sudah tutup pintu. Intervesi DPP-lah Gibran bisa melaju. Cukup naif setinggan kog telat.

Pelibatan Gibran ini juga sudah dua kali dalam waktu yang relatif singkat. Dikaitkan dengan korupsi bansos oleh Mensos Juliari. Apakah lepas dari Demokrat atau tidak? Toh ada benang merah yang sangat susah ditolak. Serangan itu sudah cukup masif dan terencana.

Demokrat itu bisa benar-benar kehabisan energi jika pola pendekatannya masih seperti ini. Sama juga menghantam karang yang kokoh dengan gayung. Kehabisan daya dan energi sendiri dari pada harapan untuk merontokan saja si batu.

Perlu kreatifitas di dalam membangun brand. Susah berharap mendapatkan durian runtuh dengan menghajar tiada henti pada pribadi Jokowi. Oposan itu menyasar program pemerintah, cara pemerintah mengatur negara, dan kebijakan-kebijakan yang masih perlu dibenahi.

Konsentrasi Demokrat malah hanya kepada Jokowi saja. Lha kapan mereka bisa meyakinkan publik kalau bisa bekerja dengan lebih baik. Konsolidasi dulu ke dalam, baru berbicara soal negara yang lebih besar. Masalah kepemimpinan dan kepercayaan elit dan kader pada AHY, jangan kemudian menyalahkan Jokowi dan Gibran.

Pilpres, pun pilkada masih terlalu jauh jika Demokrat sudah memainkan narasi untuk menyingkirkan rival. Negara terlalu besar dikorbankan bagi ambisi yang nggege mangsa, tergesa-gesa, mengap tidak berpikir 28, 32 di mana masih cukup segar dan kuat juga kog AHY.

Jika berani memperbaiki diri, bukan tidak mungkin keadaan menjadi kebih baik. Masih ada cukup waktu untuk bebenah dan berubah. Tinggalkan politik cemar asal tenar dan cengeng.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun