Makna kritik, kini sangat bergeser jauh, ketika orang mengatasnamakan demokrasi, kemudian menebarkan fitnah, hoax, berita atau pernyataan separo data, disinformasi, dengan kemudahan media informasi, semua itu mungkin. Jangan berpikir hanya orang tidak berpendidikan yang ngaco dalam memberikan informasi, malah justru elit, terutama politikus menjadi panglima dalam berbuat demikian.
Atas nama kebebasan bersuara dan berpendapat, atas nama demokrasi, orang kadang melanggar HAM pihak lain. Upaya politis ala kepeting seolah jalan satu-satunya untuk mendapatkan panggung dan kemudian kursi kekuasaan. Jabatan itu tidak salah atau buruk, baik-baik saja, namun bagaimana mencari dan kemudian mempertahankannya itu yang membedakan.
Kritik itu tidak salah, sepanjang ada beberapa hal sebagai berikut,
Menawarkan hal yang baru, ada kemungkinan solusi, jika tidak itu ada kebaruan. Contoh soal pandemi, mengatakan PSBB salah, ada upaya lain yang lebih baik dan realistis, jangan memaksakan gagasan usang yang sudah gagal, seperti lockdown.
Berdasar, ada fakta yang mendasari pemikiran untuk menyatakan kritikan itu. dasarnya kuat, sudah dengan pemikiran mendalam bahwa itu lepas dari kepentingan, apalagi kebencian. Selama ini yang ada, asal saja berbeda dengan yang dikritik.
Melakukan kritik itu pada kinerja, bukan pada fisik, tidak pada asal usul SARA, apalagi malah menyasar keluarga. Miris selama ini yang terjadi adalah mempermainkan isu-isu itu, Jokowi soal cungkring, plonga-plongo, SBY yang tambun, Prabowo asal-usulnya, atau malah kadang nasib pernikahannya, Ahok karena ia Chines dan Kristen dimaki sebagai kafir. Di mana esensi kritik jika demikian itu?
Pernah ada yang sukses mendapatkan kekuasaan, jabatan, dan kursi karena rajin menyuarakan atas nama kritik, ini seolah menjadi jalan pintas untuk mendapatkan kursi itu. Padahal  jauh lebih besar kebanggaan jika itu karena prestasi, buah pikir, bukan semata buah bibir.
Korban kebijakan yang terlempar dari kekuasaan. Ini dasar kritikannya akan ngaco. Mengapa demikian? Ya karena  hanya akan menyatakan perbedaan, bukan apa yang menjadi keprihatinan yang mendasar hidup bersama. Sekali lagi, kritik itu bagus, tetapi kalau motivasinya sudah jelek dulu jatuhnya pada nyinyir, bukan kritikan yang membangun.
Contoh-contohnya sangat mudah dicari dan ditemukan, ada Anies Baswedan, ada Susi Pudjiastuti yang baru bergabung, Said Didu, Rizal Ramli, Refli Harun. Cirinya mereka akan mengada-ada, dan menanggapi semua isu tanpa mau tahu latar belakangnya menunjang untuk berkomentar  tidak.
Jangan harap orang demikian mengatakan hal yang positif mengenai sasaran kritikannya. Sayang bukan kapasitas mereka itu besar, namun disia-siakan. Padahal membangun bangsa itu tidak harus menjadi pejabat publik. Menyumbangkan pikiran  baik itu sudah cukup.
Kepentingan. Sederhana kog melihat mana itu kritik, mana itu pansos, mana itu nyinyir. Siapa yang berbicara, ke mana arahnya, dan maunya apa dengan pernyataan itu. Siapanya kadang kita harus hati-hati, subyektivisme bisa berbahaya. Namun toh ketika mengatakan asal berbeda sebagaimana PKS ya sudah tidak usah ditelaah lagi.
Mengapa, ini soal kepentingan, mau apa dengan menyatakan itu. Bagian masa lalu, seperti HTI, FPI, selalu menyerang pemerintah, mengaitkan dengan agama, atau ulama, namun ada bagian yang disembunyikan. Maknanya sudah jelas, bahwa mereka ada kepentingan, Â mereka mau menjual ideologi yang mereka yakini.
Arahnya ke mana, kalau salawi, ujung-ujungnya ganti Jokowi, mana itu kritik, lebih cenderung nynyir demi mendapatkan kursi. Ini bisa biar diajak Jokowi atau mendongkel Jokowi. Lihat saja jika dulu teriak kenceng kemudian diam ketika bersama, jelas muaranya.
Penegak hukum yang mencari muka. Jangan sensi dan jangan salah, ketika ada upaya-upaya berlebihan untuk menyatakan pendapat bisa kita duga memiliki kepentingan. Mohon dengan sangat, kematian Soni atau Maheer, keluarga sudah mengatakan tidak ada penganiayaan, mengapa Novel Baswedan malah menyatakan seolah sebaliknya.
Pelaku oknum penegak hukum lainnya, bisa juga demi mendapatkan simpati atasan kemudian memproses pelaku ujaran kebencian dengan tebang pilih dan berlebihan. Bisa dilihat dengan mata telanjang kog perilaku mana yang lebih pas atau sudah lebay.
Membalik pernyataan. Khas bocah, ketika diledek. Contoh, ketika dihina, balik menghina, lha apa bedanya jika demikian. Sudah saatnya membangun tabiat, budaya baru, bisa menjawab kritikan dengan elegan. Jatuh pada lobang yang sama dengan apa yang dilakukan pihak lain.
Media terutama media sosial dengan model viral, tenar bagi siapa saja telah menghasilkan pribado-pribadi pansos. Â Karena yang dikejar adalah viral dan tenar, kadang abai dengan etika dan kepantasan. Hal yang terjadi dalam semua kehidupan, termasuk politik, dunia hiburan, dan kini juga AGB pun terkena sindrom itu.
Mendapatkan ketenaran dengan singkat, instan, dan menjanjikan, minimal finansial membuat orang abai akan efek buruk yang mungkin terjadi dan bisa mempengaruhi banyak pihak. Medianya tidak salah, namun bagaimana mengemas media yang baik itu menjadi penting.
Kritik itu tidak salah, jika memberikan hal yang baru. Lebih baik lagi jika mampu memberikan tawaran solusi lebih baik. Jika tanpa tawaran solusi, bisa memberikan pemikiran yang berbeda.
Tanpa melibatkan serangan pada pribadi apalagi asal-usul dan keluarga. Menghina fisik singkirkan jauh-jauh. Kritiklah buah pikir atau hasil kerjanya. Mengapa? Karena mungkin ada yang tidak bekerja tapi banyak mulut, ini yang dimaksud kritik buah pikirnya. Susah karena tidak ada hasil yang cukup layak dikritik.
Meminimalisir kepentingan dan keuntungan sendiri. Naif jika bicara tanpa kepentingan, namun sebisa mungkin lebih banyak manfaatnya bagi hidup bersama dari pada demi keuntungan sendiri. Apalagi yang menyasar demi mendapatkan jabatan.
Saatnya untuk unjuk prestasi buah pikir dan bukan hanya hasil bibir semata. Eranya bekerja bukan hanya berwacana.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H