Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Belajar Spiritual dari Jokowi dan Ramalan Mbak You

31 Januari 2021   11:06 Diperbarui: 31 Januari 2021   11:24 1147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belajar Spiritual dari Jokowi dan Ramalan Mbak You

Beberapa waktu lalu heboh dengan adanya  pernyataan atau ramalan bahwa 21 akan ada kerusuhan dan pergantian presiden. Kemudian diklarifikasi, kalau boleh, agar tidak terlalu vulgar mengatakan telah diralat, bahwa itu terjadi tahun 24. Tidak usah diramal, kalau itu sudah pasti, karena jadwal pemilu memang 24. Tidak ada kejutan dan semua juga tahu. Tidak usah peramal atau sosok spiritualis yang berbicara juga paham.

Pilpres kemarin, begitu mengerikannya narasi dan opini yang terbentuk. Pun sepanjang pemerintahan ini. Mungkin bisa dinilai demokrasi paling brutal, karena semua isu ujungnya adalah salawi, Jokowi ganti, dan seterusnya. Tetapi mengapa tetap saja Jokowi melenggang dengan seolah tanpa beban?

Kampanye, debat, ataupun harian, seolah Jokowi itu tidak ada benarnya. Membangun dicaci, disalah-salahkan, pandemi dipersalahkan mengapa ini bukan itu. Padahal dulu-dulu tidak demikian. toh Jokowi masih bisa bekerja dengan semestinya. Ada pula serangan pada pribadi, anak, ibu, bahkan cucunya pun kena imbasnya. Apa salah cucunya dalam koridor politik coba?

Sisi spritualitas Jokowi yang dilupakan para pelakon politik dan penasihat politik. Prihatin, puasa Senin-Kamis, itu salah satu kekuatan rohani dan spritualitas. Gampang sebenarnya menelaah orang itu kenyang, kaya, mendalam dalam sisi batin atau tidak. Sesederhana pula menelaah mereka itu memiliki kekuatan batin atau hanya banyak mulut semata.

Bicara

Sederhana, mudah ditebak, dan paling sering kita jumpai, maka lahirlah tong kosong nyaring bunyinya. Orang yang sisi spiritualitasnya mendalam akan menep, tidak banyak bicara. Namun, ketika bicara semua selesai. Jarng ada klarifikasi, atau malah ralat dari pribadi-pribadi demikian.

Seorang tokoh agama pernah mengaku mengeluarkan pendapat yang sangat kontrovesial ketika muda. Setelah tua ia mengelurkan pendapat yang bertolak belakang, karena ia mengaku dulu baru membaca satu buku, kini ketika telah membaca ribuan buku konsep itu berbeda.

Saya suka pengajaran guru SD saya yang berkisah mengenai anak yang baru belajar satu jurus tidak mau membayar dokar yang ia naiki. Merasa sudah jagoan, dan ketika dijawab dengan cambuk ia meraung-raung. Kemampuan belum seberapa.

Nah, kita disuguhi aneka perbuatan demikian. lahirlah pemuka agama, apapun itu yang banyak omong, kasar, dan cenderung ngaco. Untuk apa? Itu mau menunjukkan eksistensi dirinya, padahal baru membaca satu buku dan menguasai satu jurus.

Laku

Tingkah laku, perbuatan, aksi, dan kadang juga langkah kaki pun kelihatan. Dalam kata bahasa jawa pas banget, pethakilan. Ini mau memperlihatkan bagaimana perilaku mereka bagi pribadi yang belum mendalam. Memaksakan kehendak, berkoar-koar bahwa ia mampu ini dan itu. kaya yak-yak a, nek diyaki  ora isa, seperti bisa segalanya, pas diberi tanggung jawab tidak becus.

Pada tataran ini, banyak orang yang merasa bisa, bukan bisa merasa. Ciri yang bisa dimaknai kalau kurang mendalam, banyak aksi, mengaku hebat, namun aslinya kosong. Ketika mendapatkan kritikan ngamuk, meradang, merasa dilecehkan.

Biasanya yang mengaku spiritualis, paranormal, jika sudah mengutip uang, amplop, atau syarat aneh-aneh, ayam hitam, makanan yang susah dan mahal, lebih baik curiga terlebih dahulu. Biasanya mencari keuntungan. Apalagi sudah mengarah pada relasi eksklusif dan intim. Sudah tinggalkan saja.

Berbeda dengan yang sudah mendalam. Ia berfokus pada kemanusiaan, kepentingan umum lebih dulu. Apa yang menjadi prioritasnya adalah kewajibannya, pengabdiannya, dan yang lain-lain itu akan datang dengan sendirinya. Konsekuensi atas perilaku baik.

Bahasa Tubuh

Bebas dan merdeka, tanpa pamrih, itu mengundang orang untuk dekat. Menjadi rujukan atau datang ketika ada masalah. Berbeda dengan  yang masih mentah, akan berkoar-koar bahwa ia sakti. Bisa berdiri di atas pohon bambu yang masih tegak di rumpunnya. Apa iya manusia biasa demikian. Bualan yang digunakan untuk menjustifikasi bahwa ia hebat dan sakti.

Ketika wajahnya saja njelehi, bukan soal ganteng atau cantik, ini soal inner beauty, kecantikan dan kecakepan batin. Kemerdekaan jiwa yang memberikan tampilan, pasuryan cerah, menyenangkan, dan menenteramkan, meskipun  wajahnya jelek.

Tentu kita pernah bukan merasa demikian, nyaman dekat dengan orang bahkan yang belum kita kenal. Tetapi ada pula yang kenal bertahun-tahun namun enggan dekat-dekat?

Spiritualitas itu bukan semata ritual keagamaan. Sangat mungkin kita itu aktivis keagamaan, wktu kita habis untuk agama, namun belum tentu secara spiritual, secara rohani sama mendalamnya. Mengapa? Karena kita hanya memenuhi standart fisik, belum sampai pada sisi batin dan jiwa kita.

Dalam sebuah acara, Menag mengutip kutipan Injil, bahasa singkatnya, kasihilah Tuhan Allahmu dan kasihilah sesamamu. Mana agama yang bisa menyangkal kebenaran perintah itu? Tidak akan ada yang salah, satu orangpun yang bisa membantah dan menyalahkan perintah itu. semua orang tentu mencintai Pencipta dan sesama.

Sayangnya, ruang publik kita dipenuhi dengan yang belum mendalam. Sehingga lebih banyak ribut dan repot. Masih penuh dengan pamrih, mau tenar, viral, dan dapat materi yang ujung-ujungnya nanti kawin lagi, skandal dengan "murid" atau rekan kerja.

Padahal, jika orang mengasihi Penciptanya, apapun sebutannya ia juga akan lebih mengasihi sesamanya. Merasa sama-sama ciptaan. Tidak akan merendahkan atau mencari keuntungan dari sana.

Betapa bahagia ketika kita bisa sampai kesana. Bahasa Antony de Mello, awareness, kesadaran, manusia yang sadar, hidup ini hanya kini dan kemarin kog. Nanti atau besok itu tidak tahu. Semua berproses ke sana dan bersama Sang Pencipta, Semesta, semua adalah mungkin. Kembali kepada jati diri hakiki manusia, agar semakin manusiawi.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun