Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Natalius Pigai, Kompasiana, dan Saya

26 Januari 2021   12:46 Diperbarui: 26 Januari 2021   13:11 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri dari Kompasiana

Natalius  Pigai, Kompasiana, dan Saya

Akhir-akhir ini babak perseteruan netizen dan Natalius Pigai menjadi. Provokasi dan agitasi Pigai sukses membawa pada posisi yang diinginkan. Netizen lupa bahwa itu, apa yang dilakukan Pigai selama ini memang memancing keributan dan ujungnya bisa membawa pembenturan antarapapun yang bisa digunakan.

Ketika ada warganet yang membuat ulah dengan menyandingkan Pigai dengan hewan, langsung memantik reaksi dari saudara-saudara Pigai lainnya. Langsung bicara suku. Padahal  jika mau jernih, siapa yang bicara suku, yang disandingkan adalah pribadi. Inilah celah yang abai diperhatikan para netizen yang menggunakan emosi di dalam menyikapi fenomena yang ada.  Aksi dan reaksi yang memang ditunggu-tunggu.

Pengulangan yang itu-itu saja, jelas tampak bahwa itu adalah upaya menggiring publik yang brangasan untuk membuat ulah yang bisa memantik kerusuhan yang berskala nasional. Ingat kisah Ahok ada pola yang identik. Penggiringan opini ke arah agamis yang sukses.

Kompasiana mengajarkan kepada saya untuk cerdik di dalam menjawab peristiwa, fenomena, dan kejadian. Sebelum era cabut label, malah pembredelan artikel. Kehati-hatian di dalam memilih diksi, kata, untuk menyatakan pendapat yang sangat mungin bisa berpotensi penghinaan dan penistaan. Selain memang bukan gaya saya mencaci dan mengatakan hewan. Beda ketika bicara langsung lho ya.

Beberapa trik yang bisa menyelamatkan  kerasnya pernyataan kita tanpa kena semprit  Admin. Awal-awal menulis, sering ditambahi tanda tanya (?) dalam judul. Ini jelas aman dari tuntutan pihak-pihak yang tertulis dalam opini tersebut. Yang ada adalah kemungkinan, bukan kesimpulan. Trik yang baik diberikan oleh Admin.

Keras itu berbeda dengan kasar. Dalam permainan sepak bola sangat jelas. Keras itu aman, pemain lawan tidak cidera, maka tidak akan mendapatkan kartu. Berbeda dengan kasar, ganjaran kartu di depan mata. Nah boleh keras, asal bukan kasar. Syukur kenal  media awal Kompasiana, bukan sebelah yang biasa menggunakan istilah sangat kasar dan sering hewan.  Lha mau apa dengan bermedia demikian?

Trik selanjutnya menggunakan kanal atau jalur berbeda. Misalnya dijadikan fiksi. Ini jelas sangat aman. Tetapi belum tentu piawai menjadikan kisah nyata menjadi sebuah fiksi yang sangat menarik dan bisa membuat pembaca menengoknya.  Jelas akan aman dari segala pasal jika demikian. mengolah dengan bahasa fiksi itu sangat kaya dan luas.

Model lainnya adalah satire. Tetapi hati-hati, bisa kena maki pihak-pihak pengulik judul dan model komen tanpa baca. Jangan mengira ini hanya orang tidak berpendidikan. Lha sekelas rektor saja berperilaku demikian. Ini semua pengalaman di Kompasiana.

Kebiasaan lain yang menjadi masalah adalah, merasa berjarak. Karena melalui media, bukan langsung yang bisa kena gampar dan melihat perubahan raut muka atau bahasa tubuh lainnya kemudian menjadi berani. Merasa baik-baik saja, dan sangat mungkin berlindung pada akun lain atau akun tuyul.

Padahal perlu dingat ada UU ITE. Itu bisa menjadi bencana dasyat yang tidak sederhana.

Kontrol dan jaga emosi. Hentikan media sosial atau aktivitas di sana, ketika merasa kesal, atau berbagi secara private dengan orang-orang yang secara pemikiran sama. Jangan ke grup, karena sangat mungkin malah akan semakin panas dan kemudian mengambil tindakan ngaco.

Merasa kesal karena bersikap sama. Contoh karena ada tokoh yang memainkan narasi rasis, ikut-ikutan. Lha apa bedanya coba? Perlu diingat, mereka memiliki jaringan, kekuatan yang akan melindungi, lha kita? Bonyok iya dan mereka akan melaju. Masih jauh, berbicara kesetaraan di mata hukum. Lihat saja perilaku elit yang bicara tanpa dasar, kalau kita yang bukan siapa-siapa ikutan, ya masuk bui.

Kurang jeli dan kritis menyikapi apa yang Pigai lakukan, sama juga dengan Yahya Waloni. Ketika menjawab dengan kata, kalimat, dan pilihan narasi sama, hanya pada posisi sebaliknya ya untuk apa? Terutama menyangkut Papua. Betapa banyak kepentingan di sana yang menjadi bahan, amunisi, dan hulu ledak banyak pihak. Ada asing pula yang merasa terusik dan galau berat.

suara.com
suara.com
Mau menjawab pernyataan elit itu jangan sampai menggunakan fisik, apalagi menyamakan dengan binatang. Lha yang orang biasa saja bisa ngamuk apalagi itu elit yang bisa menggunakan jaringannya untuk menjadikan pengritik atau penyinyirnya menjadi masa lalu. Lebay menggunakan binatang.

Menyoal agama, ras, atau warna kulit. Kalau tidak kenal betul hati-hati, dengan yang sudah kenal sekalipun. Apalagi bereaksi pada elit dan memiliki kuasa. Bisa berabe. Biasanya menyoal pemikiran jangan sampai malah maunya meluruskan ikutan bengkok.

Kritik, nyinyiri, dan salahkan pada buah pikir atau perilaku, bukan pribadinya. Apalagi lagi-lagi fisik, lebih parah dipersamakan dengan binatang pula. Ini bahaya. Jangan katakan itu juga begitu. Beda.

Kurangi asumsi, cari dulu sumber atau bacaan  lain yang menunjang apa yang mau dijadikan bahan kritikan itu, jangan sampai itu hoax, atau bahan lama dikemas ulang. Bisa malu dan berabe. Dengan mencari bahan lain, tensi sudah kembali normal, dan tulisan jadi lebih terkontrol.  Asumsi sendiri bisa benar bisa salah, dan itu kekuatan intuisi di dalam bermain opini.

Demokrasi itu kebebasan, namun juga ada ranah etik yang perlu dijaga. Mirisnya adalah, keteladanan dari elit yang sulit menerima kekalahan. Menjadi oposan namun berangasan. Apapun kebijakan pemerintah dianggap salah, dan mereka tanpa solusi. Ketika warga marah mereka tidak mau tahu dan masih saja merasa benar.

Miris, negara demokrasi dikuasai sekelompok kecil elit kenakan-kanakan, tidak berani bertarung hanya berani teriak-teriak di luar arena. Sebenarnya mereka tidak banyak, namun bising karena media sosial yang menggaung tanpa kendali.

Barisan sakit hati tidak ikut mendapatkan roti, selalu mencaci maki. Pas dapat kopi anget lupa keringet rakyat. Semua memang harus dihadapi, saat itu akan datang, kedewasaan elit dan bangsa sehingga mencapai kesejahteraan bersama.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun