Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Natalius Pigai, Kompasiana, dan Saya

26 Januari 2021   12:46 Diperbarui: 26 Januari 2021   13:11 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri dari Kompasiana

Kontrol dan jaga emosi. Hentikan media sosial atau aktivitas di sana, ketika merasa kesal, atau berbagi secara private dengan orang-orang yang secara pemikiran sama. Jangan ke grup, karena sangat mungkin malah akan semakin panas dan kemudian mengambil tindakan ngaco.

Merasa kesal karena bersikap sama. Contoh karena ada tokoh yang memainkan narasi rasis, ikut-ikutan. Lha apa bedanya coba? Perlu diingat, mereka memiliki jaringan, kekuatan yang akan melindungi, lha kita? Bonyok iya dan mereka akan melaju. Masih jauh, berbicara kesetaraan di mata hukum. Lihat saja perilaku elit yang bicara tanpa dasar, kalau kita yang bukan siapa-siapa ikutan, ya masuk bui.

Kurang jeli dan kritis menyikapi apa yang Pigai lakukan, sama juga dengan Yahya Waloni. Ketika menjawab dengan kata, kalimat, dan pilihan narasi sama, hanya pada posisi sebaliknya ya untuk apa? Terutama menyangkut Papua. Betapa banyak kepentingan di sana yang menjadi bahan, amunisi, dan hulu ledak banyak pihak. Ada asing pula yang merasa terusik dan galau berat.

suara.com
suara.com
Mau menjawab pernyataan elit itu jangan sampai menggunakan fisik, apalagi menyamakan dengan binatang. Lha yang orang biasa saja bisa ngamuk apalagi itu elit yang bisa menggunakan jaringannya untuk menjadikan pengritik atau penyinyirnya menjadi masa lalu. Lebay menggunakan binatang.

Menyoal agama, ras, atau warna kulit. Kalau tidak kenal betul hati-hati, dengan yang sudah kenal sekalipun. Apalagi bereaksi pada elit dan memiliki kuasa. Bisa berabe. Biasanya menyoal pemikiran jangan sampai malah maunya meluruskan ikutan bengkok.

Kritik, nyinyiri, dan salahkan pada buah pikir atau perilaku, bukan pribadinya. Apalagi lagi-lagi fisik, lebih parah dipersamakan dengan binatang pula. Ini bahaya. Jangan katakan itu juga begitu. Beda.

Kurangi asumsi, cari dulu sumber atau bacaan  lain yang menunjang apa yang mau dijadikan bahan kritikan itu, jangan sampai itu hoax, atau bahan lama dikemas ulang. Bisa malu dan berabe. Dengan mencari bahan lain, tensi sudah kembali normal, dan tulisan jadi lebih terkontrol.  Asumsi sendiri bisa benar bisa salah, dan itu kekuatan intuisi di dalam bermain opini.

Demokrasi itu kebebasan, namun juga ada ranah etik yang perlu dijaga. Mirisnya adalah, keteladanan dari elit yang sulit menerima kekalahan. Menjadi oposan namun berangasan. Apapun kebijakan pemerintah dianggap salah, dan mereka tanpa solusi. Ketika warga marah mereka tidak mau tahu dan masih saja merasa benar.

Miris, negara demokrasi dikuasai sekelompok kecil elit kenakan-kanakan, tidak berani bertarung hanya berani teriak-teriak di luar arena. Sebenarnya mereka tidak banyak, namun bising karena media sosial yang menggaung tanpa kendali.

Barisan sakit hati tidak ikut mendapatkan roti, selalu mencaci maki. Pas dapat kopi anget lupa keringet rakyat. Semua memang harus dihadapi, saat itu akan datang, kedewasaan elit dan bangsa sehingga mencapai kesejahteraan bersama.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun