Menarik sepak terjang Mensos baru, kerja cepat dan gesit, sehingga membuat panas para pelaku bernegara yang biasa lelet. Narasi demi narasi dinyatakan demi menutupi aib, borok, dan tabiat selama ini yang memang biasa ogah-ogahan. Ada yang merasa tersinggung sehingga menyindir untuk izin sebagai bagian dari adab.
Ada yang mengaku tidak ada pengemis di sana. Menjadikan itu sebagai drama Risma dengan berbagai narasi dan argumen. Pihak lain mengatakan Risma bekerja pakai data, jangan asal, ini kementrian, bukan kota. Pendapat lain mengatakan, rangkap jabatan, ujungnya ya melemahkan semangat saja.
Aku ora urus kata orang, benar prinsip ini di dalam menghadapi iklim politik bangsa yang memang selalu menghajar orang bekerja. Aneh dan ajaib, selalu saja pejabat pekerja yang menjadi sasaran tembak, padahal begitu banyak pejabat yang diam saja tanpa kinerja malah tidak ada yang mengusik.
Pada sisi lain, pengusik itu pun bukan golongan pekerja, sekadar  banyak omong hajar sana sini dan lagi-lagi rekam jejak prestasinya minim. Miris memang, toh itu harus di hadapi di tengah arus budaya dan tabiat politik yang belum dewasa.
Paradigma Politik
Ini yang menjadi kacamata, panglima, dan ukuran politikus. Akhirnya, apapun yang dilakukan pihak lain dinilai secara politik. Apa keuntungan untuk pihakku, pihak lain dapat apa, dan muaranya akan menjadikannya sasaran tembak jika sangat menguntungkan pihak lawan. Masalah dan menjadi persoalan, ketika semua dilihat, dinilai, dan dihakimi secara politis. Padahal belum tentu demikian.
Hukum pun demikian. Semua diselesaikan dengan pemikiran politis. Padahal ada hukum yang sangat rigid, berbeda dengan penyelesaian politik. Salah kaprah dan yang salah itu seolah benar, pun dalam menyikapi kinerja pihak-pihak yang dinilai ada posisi lawan bahkan rival yang perlu disingkirkan.
Ranah masing-masing ada, mengapa  campur aduk yang dijadikan sebuah cara mendapatkan sesuatu. Pemain politik yang minim prestasi biasanya memainkan narasi demikian. Berbeda dengan politikus yang mau kerja keras apalagi ditambah kerja cerdas.
Surabaya dan Indonesia  Itu Sama
Kerja keras dan kerja cerdas itu yang menjadikan Risma akan mampu. Bagaimana menjalankan perutusan sebagai walikota ataupun menteri. Mengapa? Sederhana kog, sepanjang SOP, tupoksi, dan kewajiban dijalankan, mau di manapun tidak ada yang berbeda. Sesederhana itu. mengapa banyak pejabat gagal?
Karena mereka hanya mau mencari untung. Kerjaannya terbengkalai karena maunya mendapatkan fee, proyek, dan balikan modal yang sudah keluar. Energi habis, motovasi doit, dapat kembalian yang jelas lebih gede dan menguntungkan. Mana ada energi untuk bekerja. Menjalankan tupoksi itu minimalis, toh masih lumayan. Kebanyakan minimalis saja tidak tercapai.
Maunya bertahan terus. Nah pola ini tentu banyak energi digunakan untuk menimbang untung rugi. Padahal jika bekerja ada konsekuensi untuk mendapatkan penolakan, pola demikian tidak disukai politikus citra. Padahal dengan bekerja baik, ekselen terutama, akan mendapatkan tanggapan positif gede juga.Pemikiran pragmatis dan enggan kerja keras ini seyogyanya mulai menjadi kesadaran parpol untuk membina kadernya tidak takut kerja dan nama itu pasti akan mengikuti. Citra itu bonus bukan malah tujuan.
Politik citra dan politik kerja. Hal yang selama ini salah paham dan salah jalan bagi banyak para politikus di dalam melakukan kinerjanya. Semua berorientasi pada citra diri, bukan pada capaian sehingga pengenalan akan dirinya menjadi baik. Harapan sih, bahwa kini semakin banyak politikus pekerja keras. Dampak pembangunan bisa dirasakan, bukan semata tampilan glamor pemimpinnya.
Kadang miris menyaksikan politikus pekerja ini akan menjadi hantaman kanan kiri. Mengapa? Ya banyak politikus, birokrat, dan pengusaha sudah biasa enak-enakan, nyantai, tebar suap untuk mendapatkan tujuan mereka. Berhadapan dengan politikus pekerja, susah. Biasanya mereka juga mengajak kerja keras, bukan sebaliknya.
Birokrat malas ini sama juga menyeret gerbong bobrok, berisik, berat, dan boros biasanya. Nah, ini peluang tapi kalau tidak hati-hati bisa menjadi bumerang. Kepala gerbongnya akan kehabisan energi, atau kalau tidak, malah membuat ulah sehingga kepala terguling.
Hal yang sama berlaku dengan rekanan, dewan dan juga pengusaha yang biasa mendapatkan proyek. Ingat proyek ini tidak sepenuhnya buruk. Basisnya apa dulu, perkoncoan, suap, atau sama kinerja. Nah model sekian lama bermain dengan uang, susah untuk diajak kerja keras tentu saja. Jika mereka ini kolaborasi dengan politikus busuk, bisa berabe.
Habitat politikus dan birokrat kerja memang masih cukup belum ideal. Nah di sana mutu kepribadian diuji, takut dan mundur ikut arus kerja seenaknya, atau tetap melaju dengan prinsip sepanjang sesuai konstitusi?
Melihat rekam jejak, perilaku, pilihan-pilihan Risma, tetap akan mampu, Indonesia dan Surabaya identik, Â karena fokus kerjanya juga terbatas, bukan seluruh sebagaimana walikota.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H