Kala HAM Dimaknai Sesuka Hati
Akhir-akhir ini, orang atas nama HAM menolak ini dan itu. Sama juga dengan demokrasi dan menggunakannya dengan seenak udelnya untuk menghujat bahkan fitnah. Abai akan azasi itu sendiri, demi hasrat pribadi dan abai akan HAM pihak lain. Janganlah naif dan  lupa, ini dunia, sebebas-bebasnya manusia tetap saja terbatas atas kebebasan pihak lain.
Menolak vaksin atas nama HAM. Pilihan bebas dan merdeka, dan itu dijamin UU, ah yang benar secara esensial demikian? Sama juga dengan pengacara Rizieq Shihab yang mengatakan bahwa berbohong soal hasil test swab itu HAM, ah yang benar, mengatakan apa isinya mungkin bisa diterima nalar, tetapi kalau bohong jelas bukan masuk pada ranah HAM. Dampaknya merugikan pihak lain pula.
Eh tiba-tiba di media sosial ada yang menayangkan pernyataan orang, kalau semua hal dipaksakan, mengenakan masker, vaksin, dan entah keluhan apa lagi. Itu katanya melanggar HAM. Ironis.
Konsep HAM memang akhirnya kacau balau, karena sering elit negeri ini, baik SJW, LSM, atau pegiat ini dan itu selalu berdendang HAM dan bisa mendapatkan apa yang mereka maui. Miris, ketika membela atas nama HAM bagi pelanggar hukum berat seperti teroris, bandar narkoba berkali ulang, koruptor, atau siapa saja yang mau dihukum mati.
Melanggar HAM jika orang sedang tidur ditembak mati itu jelas melanggar hukum, meskipun ia gembong narkoba sekalipun. Kalau peradilan sudah dijalani dengan baik, terbuka, dan bisa disaksikan dengan gamblang, perangkat yang ada sudah terpenuhi, bahkan banding berkali ulang juga dijalani, hukuman mati mana melanggar HAM. Apalagi di Indonesia masih berlaku hukuman mati, dengan ditembak sampai mati. Kecuali dipancung atau penggal jelas melanggar HAM bahkan hukum.
Kekacauan yang tercipta karena kepentingan ini makin membuat orang juga ikut-ikutan, karena sudah ada contoh yang nyata di depan mata. Mereka, para pengacau istilah mendapatkan keuntungan pula, jadi diikutilah dengan suka rela dan suka cita.
Bagaimana bisa orang berbicara HAM, eh dirinya, pihaknya, atau yang dibela itu juga melanggar HAM terlebih dahulu. Contoh pengedar dan bandar narkoba, mereka telah melanggar hak hidup pihak lain dengan bujuk rayu mereka, sehingga konsumennya tergantung dan sangat mungkin mati karenanya. Tentu ini bukan masalah balas dendam, tetapi bagaimana membela HAM pada pihak pelanggar HAM terlebih dulu.
Konteks masker, vaksin, dan masa pandemi. Perlu diingatkan, yang merasa terampas HAM-nya itu, apakah mereka juga mengenakan helm ketika mengendarai motor, tetap bersekolah atau kuliah, ketika enak-enaknya untuk tidur, atau bekerja padahal sedang malas pol? Mosok tidak lapor ke Komnas HAM atau  Komnas Anak? Kan melanggar privaci.
Kebebasan mutlak itu hanya utopia, tidak ada sepanjang di dunia. Merasa bebas, Â yo sana bobok manis di jalan raya. Itu kekebasan ala orang gila, orang biadab, bukan orang beradab. Kebebasan kita akan kita serahkan demi tertib hidup bersama. Ingat, betapa kacaunya kita dalam hidup bersama jika semua hanya mengedepankan kebebasan kita masing-masing. Pantas saja budaya antri susah minta ampun.
Egoisme dan kekanak-kanakan. Khas anak-anak yang memang pusatnya adalah diri. Lihat emaknya sakit perut  pun kalau dia maunya maem harus maem. Itu anak-anak, tidak mau tahu. Lha kalau orang dewasa, sudah berpikir, tentu memikirkan dampak, apa yang akan terjadi jika memilih ini dan memilih itu.
Benar HAM untuk tidak bermasker, tetapii itu kita tunda karena pandemi ini, virus ini menyebar salah satunya dengan adanya letupan air liur atau cairan mulut, hidung, dan mata, kepada orang lain. Melanggar HAM ketika sedang baik-baik saja dipaksa untuk ini dan itu. jangan lupa juga poin di atas, orang lain juga punya HAM untuk merasa aman ketika orang lain juga mengenakan masker.
Aneh dan lucu lagi, pengacara MRS ketika berbohong berdalih HAM. Hak pasien untuk tidak mengatakan hasil uji kesehatan itu dalam kondisi normal. Misalnya hamil di luar nikah, tidak bisa dipublikasikan. Atau terkena AIDS, toh ppositif covid juga bukan noda, tidak dipublikasikan juga bisa, masalah adalah ketika memanipulasi, mengatakan hal sebaliknya dengan apa yang terjadi. Berbeda dengan diam saja. Itu hak yang dilindungi. Menyebarkan kebohongan apakah tidak melanggar HAM?
Ah jangan-jangan besok kamu yang menghamili gadis itu ya? Saya dilindungi HAM tidak akan mengakui, padahal DNA sudah ada dan nyatanya benar. Itu bukan HAM, tetapi ngaco, berdalih HAM demi kepentingan sendiri.
Istilah saja masih kacau dan mengacaukan diri demi mendapatkan keuntungan. Ini soal yang sederhana namun mendasar. Pendidikan dan pengajaran agama ada persoalan, sehingga memilah dan memilih saja tidak bisa. Usai reformasi seolah semua-mua adalah bebas. Tidak ada kebebasan mutlak sepanjang di dunia ini.
Komnas HAM dan komnas yang lain pun kadang mengajarkan hal yang aneh, kacau, dan seolah mengawal kekacauan itu karena agenda tertentu. Jangan tanya kalau politikus dan oranag-orang politik, mereka memang besar karena memainkan narasi.
Revolusi akhlak memang mendesak untuk meluruskan pemikiran kacau seperti ini. Bagaimana bisa orang bisa seenaknya sendiri menafsirkan HAM masing-masing. Ya kacau. Buat apa ada hukum, pemerintah, aparat, jika SJW, LSM kadang lebih kuat di dalam menekankan kebenaran versi mereka. Ingat kondisi bangsa ini sedang dalam kondisi normal, relatif baik-baik saja, bukan negra otoriter yang tidak bisa dipercaya sepenuhnya. Rekam jejak pemerintahan ya masih normal, bukan pelaku kecurangan yang sangat masif dan memberikan petunjuk yang penuh kamuflase dan kemunafikan yang setiap saat terjadi.
Sekali lagi, tidak ada kebebasan mutlak sepanjang di dunia. kebebasan itu juga tersekat oleh kebebasan pihak lain, nah aturan, perangkat UU, pemerintah itu menjamin kebebasan itu untuk menjaga tertib bersama.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H