Ide Akses Vaksin oleh Swasta, Meringankan APBN tetapi Menambah Masalah
Pemberitaan mengenai vaksinasi yang diterima Presiden Jokowi kemarin, diikuti narasi khas negeri ini, penolakan ala Ribkha selaku anggota dewan, atau perilaku Rafi Ahmad yang dinilai ngaco oleh sebagian pihak, kini Kadin juga ikut memeriahkan dengan gagasan mereka. Mengajukan ide untuk membuka kran bagi swasta untuk menyediakan vaksin mandiri. Apakah ini bijak dan benar meringankan negara atu malah membebani? Kita cek bersama.
Lag lama, akan tercipta narasi dualitas lagi. Cebong kampret belum usai dengan sepenuhnya. Malah akan terjadi lagi kisah yang baru. Kadin normatif sih, melihat peluang swasta atau pengusaha dan para pelaku bisnis obat tentu ini hal yang menguntungkan. Bagaimana tidak, vaksin dan jaminan bisa "lebih bebas" tentu akan sangat laku. Sisi dagang atau bisnis sih sah dan baik-baik saja.
Akan tetapi, sisi politis, sosiologis, dan politis yang amat sangat rentan untuk menjadi bahan gorengan itu mengerikan. Beberapa hal faktual bisa menjadi bahan pertimbangan, bagaimana negara menjawab gagasan ini.
Kemarin, usai presiden menerima suntikan, kami di grup becanda, ayo menantikan narasi apa yang akan terjadi. Apakah ini beneran suntikan vaksin? Benar-benar disuntik, atau malah isinya vitamin, dan narasi sejenis. Hal yang biasa terjadi  ala pelaku di posisi oposan yang menilai tidak ada yang benar dari kinerja pemerintah.
Benar saja tidak pakai lama sudah beredar photo, mengapa karet hitam dalam suntikan tidak bergerak atau bergeser. Mana ada photo bergeser? Ini sih logika dasar saja, toh akan makin banyak pemikiran demikian. Benar saja dilanjut, mengapa kamera hanya dari depan, mengapa di balik punggung si penerima tidak ada perekaman?
Sudahlah pokoknya ribet. Si kacau ketika belum ada vaksin, maunya gratis, setelag gratis maunya presiden dulu, sudah ditetapkan presiden pertama, muncul ide untuk siaran langsung. Benar saja prediksi sejak awal dengan siaran langsung masih akan lahir ide-ide ngacp lain, dan benar.
Kekacauan pikir pertama. Masih banyak yang senada. Jelas point itu mau mereduksi adanya kemungkinan vaksin yang berbeda. Apalagi benar ada swasta yang melayani. Makin kencang suara itu.
Kedua, selama ini pasien mandiri dan BPJS, apalagi masa lalu, selalu merasa tidak mendapatkan pelayanan optimal. Padahal sangat bisa diperdebatkan lebih lanjut. Â Memang akan lain jika bicara praktek dokter pribadi dengan Puskesmas atau RSU. Ribetlah, pelayanan buruklah, obatnya tidak manjurlah, dan litani serba buruk asuransi kelas rakyat dibandingkan dengan mandiri atau asuransi swasta lain.
Nah dengan vaksin swasta akan menambah daftar panjang hal ini, satu masalah belum kelar diurai malah menambah masalah baru pula. lahir pemisahan dan pembedaan baru lagi.
Ketiga, jika merk yang diambil berbeda dengan yang diberikan negara  secara cuma-cuma dan dampak yang ditimbulkan atau hasilnya lain, betapa susahnya lagi pemerintah membangun kepercayaan soal vaksin ini kembali.
Belum kejadian saja, sekelas anggota dewan bisa berteriak-teriak antivaksin, apalagi kalau ada vaksin lain, swasta lagi. Malah menambah beban bukan meringankan kinerja pemerintah.
Keempat, soal harga pastinya akan berbicara pada tataran bisnis, tidak akan lebih murah dari gratis sebagaimana yang dilakukan pemerintah. Pengusaha tentu akan mencari yang terbaik dan harga mahal pun dibeli kalangan berduit. Lagi-lagi  menciptakan peluang adanya pemisahan dikotomis di lapangan. Apalagi jika bicara hasil yang kadang demi iklan dan laku jualan mereka akan klaim dan jika tidak hati-hati merendahkan yang dibagikan.
Siap tidak pengusaha untuk bermain fair dan pemerintah menanggapi dengan sigap jika terjadi gejolak di tengah masyarakat. Hal yang bagi pelaku bisnis bukan pertimbangan, namun berbeda dengan pemerintah dan pemain politik.
Bicara anggaran kog tidak akan banyak selisihnya. Siapa yang mandiri itu jelas kalangan tertentu, dan mereka juga sudah terhitung sebagai penerima gratis. Teknis sederhana sebenarnya, sangat mudah memang untuk kalkulasi ini, tetapi malah menambah ribet karena faktor politik dan sosial yang jauh lebih ruwet. Belum lagi perilaku abai dan seenaknya sendiri di dalam berbangsa. Mengaku sudah mandiri padahal karena tidak mau, dan ada surat sudah vaksin, siapa yang bisa mengontrol?
Keadaan sudah mulai stabil. Narasi jelek soal vaksin sudah reda, mau agama, mau pemain politik relatif sudah seia-sekata, tidak usahlah faktor ekonomi  juga ikutan menjadi beban baru dengan gagasan mereka, jelas provit orientasinya. Masih banyak peluang kog. Jalani saja yang ada.
Capek setiap saat hanya membaca dan mencerna pro dan kontra yang sebenarnya tidak mendasar. Hanya soal kepentingan dan mendapatkan fee atau tidak. Sekadar calo bukan produsen. Gagasannya sih membantu pembeayaan, lha dampak lainnya jauh lebih mahal. Ya buat apa?
Ribet dan malah makin berat bagi pemerintah. Susah untuk menahan laju pemisahan atas perbedaan yang ada. Menciptakan ruang untuk berselisih, suka atau tidak, masih banyak pelaku dan penyuka negara kisruh sedang menanti di pojokan untuk menciptakan narasi agar negara  tidak stabil. Tidak perlu menambah masalah yang sudah bisa diatasi dengan relatif baik.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H