Drama Risma Versus Jubir Bo**p
Jagat media sosial lagi riuh rendah dengan  dua kisah heroik dua kubu yang seolah tidak pernah bisa akur. Bagaimana kedua kutub ini sangat serius menemukan titik lemah untuk saling serang dan saling mempermalukan. Ketika dukungan satu sisi mendapatkan point kritis, sorak sorai pun membahana. Menemukan sebuah kelemahan, atau kadang juga menciptakan drama kadang bisa menjadi hiburan bagi warga net penyuka politik.
Kala Risma menjadi Menteri Sosial dan kemudian berjalan-jalan di sekitar kantornya, ia menemukan seorang gelandangan. Kisah dengan si gelandangan ini kemudian menjadi drama Risma dengan narasi bahwa orang tuna wisma itu pemiliki kios bingkai gambar. Begitu masif drama Risma menjadi bahan oleh kubu satunya jelas saja.
Hari berikutnya Risma menemukan si bapak ada di balai dinas sosial, ia tertawa, dan bagusnya Bu Menteri menjawab pewarta dengan candaan, kowe ngguyu, aku sing dibully. Nada yang ada, memberikan sebuah gambaran baru, Risma lebih kokoh, kuat, dan sudah mampu menjawab isu dan kata-kata kubu sebelah dengan lebih bijak. Angin lalu, yang penting kerja. Hal yang baik.
Di saat yang hampir bersamaan, si pelaku yang biasanya, dan malah sedang gencar-gencarnya mendiktekan Risma untuk ini jangan itu, Fadli Zon, ketahuan menyukai situs porno pada media sosial. Pikiran biasa akan mengatakan itu salah klik, hal yang langsung gugur karena layar monitornya segede dinding, sama sekali tidak salah klik, tetapi memang ada yang sengaja menjempolnya.
Lagi-lagi Khas Fadli, di mana akan menuding pihak lain, ia mengaku itu adalah stafnya. Padahal pernah dulu mengaku ia sendiri yang mengendalikan media sosialnya. Artinya ia membantah pernyataannya sendiri. Diikuti dengan upaya peretasan, konon ada permintaan notifikasi untuk masuk pada akun media sosialnya. Ah ini sih pelaku craker amatiran kalau masih demikian. Sangat tidak  mungkin.
Itu adalah ilustrasi faktual. Di mana keduanya terjadi, pada posisi berseberangan. Hal yang sejatinya sudah ada sejak pasca pilpres 2014. Kubu cebong dan kampret yang berkamuflase pada kadrun, belum juga usai. Persatuan Jokowi-KHMA dengan Prabowo-Sandi ternyata belum sepenuhnya usai. Ada pihak-pihak yang masih saja menggunakan isu-isu pemerintah dan oposisi yang demikian tajam dan seolah tidak bisa disatukan.
Beberapa pihak yang ada dan senang dengan keadaan ini adalah,
Pihak asing yang biasa panen melimpah dengan murah atas hasil alam Indonesia yang melimpah. Lihat saja Freeport, Blok Mahakam, Blok Masela, dan kini adalah nikel, itu biasa jarahan negara asing, dan kini semua ada di dalam kendali bangsa sendiri. Mereka memangnya mau dan puas dengan keadaan itu? Jelas tidak.
Eh di dalam negeri, kehendak asing itu banyak yang menyambut dengan tangan terbuka. Mengapa? Ya karena kepentingan, kebiasaan rakus, tamak, dan menguasai  tambang untuk diri dan kelompoknya. Siapa saja mereka bisa dengan mudah ditemukan dalam pemberitaan dan ulasan, cari saja di google dan dengan mudah akan tampil deretan nama-nama orang yang rakus dan tamak itu.
Kolaborasi bagus antara pengusaha asing dengan politikus busuk, rakus, dan tamak. Sangat mudah menjelma menjadi bandit demokrasi. Jangan salah mereka sudah masuk dalam perundang-undangan yang sangat membantu mereka.