Awal 2021, kembali belajar, di tengah pandemi. Semalam, rekan dari luar pulau berkhabar, bagaimana puteranya mau kuliah di Jawa. Adiknya mau masuk SMP, dengan kondisi pandemi demikian sangat merisaukan.
Orang tua tetap bingung, gamang, memilih "melepaskan" kembali belajar tatap muka dengan segala risiko yang sama sekali tidak diketahui dan benar-benar kondisi yang susah hanya sekadar antisipasi, kecuali dengan prokes yang ada, toh itu masih juga sering kebobolan.
Kondisi yang dialami oleh seluruh bidang kehidupan. Tidak ada yang tidak terkena dampak pandemi ini. Semua lini kehidupan berubah total dan banyak hal kembali kepada posisi masa lalu. Salah satunya adanya tempat cuci tangan di depan-depan rumah. Hal yang sejatinya dulunya pernah ada di rumah-rumah kuno bangsa ini. Mengenai sanitasi dan kesehatan.
Berkaitan dengan pendidikan, sependek pengalaman menjadi pendidik yang hanya sekejap, dan juga pembicaraan dengan teman semalam, sepakat bahwa kondisi yang serba tidak jelas ini tetap aman dan lebih nyaman anak-anak di rumah alias pendidikan jarak jauh. Beberapa kendala memang tetap masih seperti itu. Masalah  internet, keberadaan alat komunikasi, dan kemampuan orang tua untuk menjadi "guru pengganti."
Hal di atas sudah sering disuarakan dan dinyatakan, diulas, dibahas, dan solusi atau alternatif sudah relatif banyak. Kesulitan ada namun sudah bisa diatasi dengan berbagai cara dengan tetap saja ada kendala. Sesuatu yang wajar, namanya juga keadaan luar biasa.
Namun, di balik itu semua, ada dua hal baik, positif, dan bagus, serta baru yang saya lihat dari sepanjang amatan dan pengalaman kebersamaan selama menjadi pendidik dan hari-hari ini.
Pertama, secara ilmiah, pengaruh psikologis, guru, terutama semakin dini taraf pendidikan, yang telah mengajar selama 10 tahun berturut-turut akan terikut pola pikir dan pola tindak anak didiknya. Â Ada rekan guru yang dulu mengatakan istrinya, yang guru SD pola pikirnya dan ketika diajak bicara ya seperti muridnya. Waktu itu belum membaca buku yang mengupas itu.
Kondisi psikologis ini akan jauh berkurang, karena interaksi guru dan murid yang biasanya full dalam seluruh aspeknya menjadi jauh berkurang. Malah cenderung bukan hanya berkurang, malah drastis. Hal positif bagi guru, sehingga lebih banyak menjadi dirinya sendiri, bukan lagi harus demi tuntutan profesionalisme dan pedagogi menjadi "setara" dengan muridnya. Hal ini jelas positif, bukan malah negatif.
Harapan dan bukan kecemasan malah. Keberadaan guru yang menjadi dirinya, sejenak menghirup udara segar, seperti rekreasi bagi keseluruhan dirinya, otak, semangat, perasaan, dan terutama jiwanya. Selama ini, paling-paling liburan semester yang hanya berapa hari, itu pun kadang masih disibukkan dengan agenda sekolah. Kenaikan kelas juga masih ribet dengan PSB atau kegiatan ini dan itu, tanpa sempat otak dan jiwanya ngaso.
Hal kedua, orang yang menengah ke atas sudah enggan belajar. Membaca saja jarang. Kini, keadaan srba darurat ini mengubah semua pola, kebiasaan, dan cara mengajar konvensional. Jangan kaget jika guru-guru senior itu mengajar ya akan sama dari tahun ke tahun. Kini semua berubah. Tidak ada yang tidak kenal internet sekarang, minimal WA.
Model pembelajaran online yang demikian banyak tawaran, suka atau tidak, tetap harus dikenal, dimengerti, dan kemudian mampu menggunakannya.
Manusia pembelajar itu akhirnya benar-benar terjadi dan berlangsung. Agen perubahan itu mengubah dirinya agar mampu menjawab kebutuhan keadaan. Ini lagi-lagi adalah harapan, bukan kecemasan.
Saya bisa membayangkan bagaimana pusing, kacaunya bagi guru-guru senior, di mana setahun dua tahun menjelang pensiun. Mereka yang biasanya hanya duduk manis, mengajar sudah di luar kepala, seolah hafalan tanpa buku, belajar lagi menulis, komputer, internet, dan tentu saja pembelajaran gaya baru. Tidak ada yang tidak mengalami kesulitan dan hal baru dengan pandemi ini, tetapi toh ada secercah harapan untuk gaya hidup dan pendidikan yang baru.
Peserta didik pun suka atau tidak, dipaksa untuk mengenal teknologi lebih dini. Selama ini kecenderungan mengunakan hape hanya untuk permainan, menonton film, atau agak gede main medsos, kini untuk belajar. Kegiatan belajar mengajar dengan internet. Hal baik dan harapan juga.
Salah satu masalah dunia pendidikan yang ada di sini adalah, kebiasaan. Hal yang sudah biasa susah diubah. Padahal namanya pendidikan ya berupa perubahan. Mirisnya yang harus berubah tetap saja, dan malah yang tidak esensial selalu berubah.
Sikap berani berubah perlu dikembangkan. Termasuk dalam melihat, menilai, dan memberikan pemaknaan akan pandemi. Selama ini hanya berkutat pada keadaan yang nonideal ini, namun abai betapa banyak hal baik yang sebenarnya bisa dieksplorasi.
Terlalu banyak berkutat pada hal teknis  tetapi tidak mendasar. Takut inovasi, curiga pada gagasan baru, dan itu adalah kecelakaan dalam dunia pendidikan.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI