Bumerang UU Pornografi bagi Rizieq Shihab, Gisel pun Kena
Kini, sedang ramai-ramainya pembicaraan mengenai kasus tanah di Mega Mendung yang berkaitan dengan Rizieq Shihab dan FPI. Warga nett beramai-ramai mengingatkan memori publik atas perilaku  mantan ormas ini yang selalu menyoal mengenai IMB pendirian rumah ibadah pihak lain, gereja, kapel, pura, dan semacamnya.
Dulu, hampir bisa dipastikan pemilik IMB pun akan kalah dan mau tidak mau tidak memiliki gedung yang representatif karena pihak pemerintah setempat hampir pasti mencabut IMB tersebut. Pun, jika masih terbit, tidak akan bisa membangun karena tetap saja dipersoalkan dengan aneka alasan yang bermacam-macam. Tiba-tiba keadaan berbalik. Bangunan megah itu diminta  kembali tanahnya karena berdiri di tanah negara. Mana IMB-nya Bro?
Tarik ulur masih terjadi. Adu argumen khas mereka berseliweran, malah mulai agak bias dengan menyasar Menkopolhukam yang dipotong pernyataannya, dan menyoal pula MenBUMN Erick  Thohir, hal yang sangat biasa dalam alam demokrasi yang masih latihan ini. Jangan sampai malah soal tanahnya terlenakan karena asyik pada soal politisnya, bisa berabe. Fokusnya malah tersingkirkan karena asyik dengan genderang pihak lain.
Kasus tanah belum kelar, titik temu belum juga terlihat, kini malah ada kisah yang lebih tragis lagi, mengenai dugaan pembicaraan porno dengan seorang perempuan. Dugaan kasus itu sempat di- SP3-kan pihak kepolisian, namun kini, di tengah badai masalah yang menghinggapinya, malah dicabut. Artinya proses hukumnya potensial berlanjut.
Kembali ingatan publik dibawa ke masa lalu, di mana saat 2006, kala RUU APP, rancangan undang-undang antipornografi dan pornoaksi masih digodok, salah satu pihak yang paling getol memaksakan segera diundangkan adalah PKS, MUI, FPI-Rizieq di dalamnya. Padahal banyak pula yang keberatan. Bisa dicek berita dan ulasan kisaran tahun 2006.
Mengapa banyak yang keberatan? Â Beragam argumen yang mengatakan masih rancu dan tidak jelas batasan sebagai sebuah produk hukum, adanya budaya, kebiasaan, atau sebuah tradisi yang bisa kehilangan itu semua jika diundangkan. Contoh soal berpakaian, peristilahan, batasan-batasan yang sangat sumir.
Bagaimana mengenai kemben, padahal di banyak daerah hal itu adalah bagian utuh atas budaya asli setempat. Papua, Sulawesi Utara, Bali, NTT, daerah-daerah banyak yang keberatan dengan UU yang sarat kesimpangsiuran jika diterapkan. Ada ranah pribadi yang dibawa pada ranah privat.
Keluarga almarhum Gus Dur, hari ini adalah haul ke-11 beliau, semoga berbahagia di alam keabadian, Â ikut menyuarakan penolakan atas RUU yang masih perlu banyak pembenahan dan pembahasan. Toh pihak yang berseberangan sebagaimana di atas malah menarasikan jika kelompok yang menolak RUU ini sebagai promaksiat, propornogafi dan sebagainya.
Kini, salah satu pionir itu kena getahnya secara langsung. Pihak yang menolak UU Pornografi itu bukan berarti setuju adanya aktivitas pornografi, namun ada ranah publik, ranah privat, dan itu tidak bisa bahkan tidak boleh dicampuri oleh negara dalam hal ini dengan produk hukum dan ujungnya adalah bui.
Jauh lebih tepat itu adalah ranahnya agama, moral, dan hukumnya adalah hukum sosial, hukuman yang mendidik, bukan semata bui yang kadang ribetnya minta ampun. Pembuktian dan pemeriksaan yang sangat melelahkan. Berbeda jika itu adalah hukuman sosial dan bersama, itu masih sangat mungkin. Aneh dan lucu, ketika banyak yang seharusnya masih dihukum sosial malah dipaksa hukuman badan, yang hukuman sosial sering terabaikan.
Padahal salah satu kemajuan peradaban itu sedikit UU namun lebih banyak kesadaran dan konsensus bersama atau norma sosial yang akan menjadi pengikat di dalam menjalankan tertib hidup bersama. Semakin banyak UU semakin terlihat bahwa hidup bersamanya masih maaf "liar atau biadab" dan perlu diadabkan.
Contoh sederhana, soal milik orang lain, ada barang ketinggalan, di tempat peradaban maju tidak akan hilang, tetapi di tempat yang masih promitif tahu yang punya saja akan dikamuflasekan hingga bisa didapat. Hal yang sangat sederhana, penghormatan akan kepemilikan.
Dugaan percakapan itu sangat personal, ranah privat, namun karena ada UU yang mengatur itu, dan kebetulan si terduga ini juga yang menginisiasi, bahkan memaksakan, ya sudah mau apa lagi. Korban dalam waktu yang relatif bersamaan ada dua, Gisel dan Rizieq. Berbeda ketika itu adalah industri seperti film dewasa yang memang tujuannya komersial dan ada sebuah jaringan profesional yang mengelola.
Jangan nanti mengatakan pemerintah atau rezim ini mengurusi ranjang, tetapi latar belakang UU-nya tidak mau tahu, siapa-siapa yang terlibat di dalamnya. Sejarahnya ada persoalan, jangan ketika terjerat dengan gagasan yang ia dukung kemudian menuding atau menyalahkan pihak lain. Â apakah mau revisi atau bahkan mencabut UU yang ada? Sangat mungkin.
Konsekuensi atas desakan yang tidak dibarengi dengan kajian yang menyeluruh, pokok e dan sejenisnya, ya sudah kini mendapatkan sebuah konsekuensi logis yang sangat mahal. Reputasi itu rontok sehabis-habisnya, dan susah untuk memulihkannya kembali.
Gaya bertahan dengan menglaim itu rekayasa, toh perlu peradilan yang membuktikan dan itu sangat mungkin akan menambah malu, mau benar atau salah tetap saja mempermalukan. Stigma itu susah dihapus, seperti paku di dinding, dicabut toh tetap memberikan bekas, dan itu tidak mudah dibuang.
Media pastinya akan senang mendapatkan berita, sangat mungkin pengadilan terbuka dan itu tentu saja sangat memalukan. Nama baik terjun pada dasar yang paling dalam.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H