Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bumerang UU Pornografi bagi Rizieq Shihab, Gisel Pun Kena

30 Desember 2020   12:45 Diperbarui: 30 Desember 2020   13:00 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Padahal salah satu kemajuan peradaban itu sedikit UU namun lebih banyak kesadaran dan konsensus bersama atau norma sosial yang akan menjadi pengikat di dalam menjalankan tertib hidup bersama. Semakin banyak UU semakin terlihat bahwa hidup bersamanya masih maaf "liar atau biadab" dan perlu diadabkan.

Contoh sederhana, soal milik orang lain, ada barang ketinggalan, di tempat peradaban maju tidak akan hilang, tetapi di tempat yang masih promitif tahu yang punya saja akan dikamuflasekan hingga bisa didapat. Hal yang sangat sederhana, penghormatan akan kepemilikan.

Dugaan percakapan itu sangat personal, ranah privat, namun karena ada UU yang mengatur itu, dan kebetulan si terduga ini juga yang menginisiasi, bahkan memaksakan, ya sudah mau apa lagi. Korban dalam waktu yang relatif bersamaan ada dua, Gisel dan Rizieq. Berbeda ketika itu adalah industri seperti film dewasa yang memang tujuannya komersial dan ada sebuah jaringan profesional yang mengelola.

Jangan nanti mengatakan pemerintah atau rezim ini mengurusi ranjang, tetapi latar belakang UU-nya tidak mau tahu, siapa-siapa yang terlibat di dalamnya. Sejarahnya ada persoalan, jangan ketika terjerat dengan gagasan yang ia dukung kemudian menuding atau menyalahkan pihak lain.  apakah mau revisi atau bahkan mencabut UU yang ada? Sangat mungkin.

Konsekuensi atas desakan yang tidak dibarengi dengan kajian yang menyeluruh, pokok e dan sejenisnya, ya sudah kini mendapatkan sebuah konsekuensi logis yang sangat mahal. Reputasi itu rontok sehabis-habisnya, dan susah untuk memulihkannya kembali.

Gaya bertahan dengan menglaim itu rekayasa, toh perlu peradilan yang membuktikan dan itu sangat mungkin akan menambah malu, mau benar atau salah tetap saja mempermalukan. Stigma itu susah dihapus, seperti paku di dinding, dicabut toh tetap memberikan bekas, dan itu tidak mudah dibuang.

Media pastinya akan senang mendapatkan berita, sangat mungkin pengadilan terbuka dan itu tentu saja sangat memalukan. Nama baik terjun pada dasar yang paling dalam.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun