7 Fakta di Balik Kejanggalan Pengakuan Kedubes Jerman
Masalah dengan diplomat Kedutaan Jerman sempat tenggelam dengan berita resuffle kabinet. Keadaan yang masih hangat langsung dingin karena tersiram kuah yang jauh lebih panas. Tersingkir jauh-jauh karena  kalah mendidihnya. Perang opini dan narasinya sudah bergeser.
Awal mula beredarnya sas-sus ini adalah pengakuan Munarman mengenai kedatangan pihak Kedutaan Besar Jerman ke markas FPI untuk menyatakan bela sungkawa dan dukungan moral atas kematian enam anggota mereka. Lanjut Munarman, mereka juga mengatakan  akan saling berhubungan karena memegang kontak, nomer ponsel maksudnya. Itu kata Munarman.
Jelas tidak terima pihak Kemenlu melayangkan surat resmi meminta klarifikasi. Sikap yang memang harus dilakukan dan diterapkan. Relasi dan diplomasi itu setara bukan malah seenaknya sendiri ditampilkan. Bagus dan memang harus dilakukan.
Tanggapan pihak Kedutaan Besar Jerman layak dicermati dengan adanya  beberapa point.
Pertama, itu tindakan pribadi, bukan sikap resmi dari Kedutaan Besar, apalagi negara Jerman sebagai negara. Hal yang lumrah akan dinyatakan demikian. Bahasa paling normatif sebagai upaya untuk menjaga nama baik dan perasaan  negara Indonesia. Tetapi, ada yang cukup janggal juga.
Kedua, boleh mengatakan itu sebagai sikap pribadi diplomat tersebut. Ada dua hal yang bisa dilihat sebagai catatan yang naif, mengenai kendaraan resmi dan cara berpakaian yang sangat mencolok. Kedua hal ini aneh dan naif jika berbicara era modern tentu akan sangat mungkin menyewa mobil atau menggunakan kendaraan aplikasi, aman dan pasti tidak akan mencolok. Mengaku sebagai aksi pribadi bisa diterima nalar.
Ketiga, pakaian, ini juga sangat  lucu. Sangat biasa, sehingga tampak jelas bahwa itu bule. Mengapa tidak mengenakan abaya atau  burqa, minimal berhijab yang akan menyamarkan banyak sisi badan si diplomat. Seolah ini menampilkan diri ini lho, aku dari Jerman.
Keempat, mengatakan ke markas FPI mau menanyakan rute demo. Lha mereka kan sangat mungkin meminta kepada Kapolri atau Kapolda, Kemenlu juga pasti akan sangat memfasilitasi itu semua. Lagi-lagi alasan yang tidak masuk akal jika mau menghindari tanggung jawab dengan dalih demikian. apalagi ini bukan pertama kalinya ada demo dan FPI sebagai pelakunya.
Kelima, lha memangnya demo baru kali ini. Jakarta mana pernah sepi demo. Pandemi saja dema-demo kog. Ada demo UU Cipta Kerja, menyambut Rizieq, dan kini membela Rizieq. Terlalu naif jika bicara rute demo. Apalagi model FPI sangat mungkin antara gagasan dan yang dilakukan sama persis. Rutenya bisa saja beda dengan yang direncanakan.
Keenam, ketika berbicara HAM. Lebih naif lagi, karena siapa FPI mosok pihak Jerman tidak paham. Mereka adalah pelaku pelanggar HAM yang sudah berkali ulang terjadi. Lihat saja  rekam jejak mereka. Apakah pelaku pelanggar HAM layak mendapatkan pembelaan HAM? Aneh dan lucu, bagaimana keberpihakan jika demikian. Mana maling mana polisi jika demikian?
Penegakan HAM ya harus dengan HAM, jangan standart ganda mengatasnamakan HAM dengan melanggar HAM. Ke mana nurani mereka jika demikian. Perilaku sewenang-wenang itu sudah jadi adat laku FPI dan kawan-kawan. Ketika polisi malah dianggap pelanggar HAM, layak dipertanyakan. Berkaitan dengan itu, laik dilihat pada point tujuh.
Ketujuh. Lha kematian baku tembak dengan polisi itu pelanggaran HAM. Bolehlah sebagai sebuah wacana dan keberpihakan, namun ke mana Kedutaan Jerman ketika ada warga Sigi digorok? Mereka tidak dengarkah? Jelas-jelas perilaku teroris kepada warga sipil. Jelas, terang benderang, tidak ada keraguan. Pelanggaran HAM oleh teroris kepada masyarakat yang tidak bersenjata.
Jelas saja Sigi tidak akan seksi bagi Barat dan kepentingan mereka. Suka atau tidak, perilaku dan aksi diplomat Jerman ini bukan spontan dengan alasan HAM. Ada agenda yang memang disengaja dengan sangat terbuka, vulgar, kedatangan dengan kendaraan resmi, pelaku tanpa samaran sama sekali. Â Kepentingan apa dengan itu, ujungnya bisa diperkirakan mengenai.
Nikel. Paling rugi adalah Barat dengan keberanian pemerintah RI untuk melakukan produksi mandiri, bukan ekspor bahan mentah sebagaimana selama ini. Padahal itu  masa depan dunia, dan mereka maunya adalah pihaknya yang mendapatkan keuntungan. Kondisi demikian memang masih menjadi paradigma kuat bagi Barat. Penguasaan kawasan ala lampau tidak bisa. Namun menguasai kekayaan alam dengan regulasi yang mereka rancang masih sangat masif.
Sayangnya adalah masih banyak warga negara, lembaga atau organisasi di dalam negeri yang masih mau menjadi antek atau kepanjangan tangan pihak asing yang mau menguasai kekayaan negara sendiri. Mereka ini mikir pendek, yang penting aku, kelompokku, dan mana peduli dengan negara.
Pendekatan demikian sudah berpuluh-puluh tahun dilakukan, termasuk para elit dan penguasa negeri. FPI menjadi alat yang membuat keadaan kacau, lemah, dan kesempatan tidak stabil dimanfaatkan mereka. Kondisi membaik yang jelas merugikan mereka yang biasa mendapatkan keuntungan.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H