Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Kalah dengan Nikita Mirzani?

15 Desember 2020   20:53 Diperbarui: 15 Desember 2020   21:02 815
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa waktu sebelum pencalonan kedua, Jokowi mengatakan, menjadi pejabat itu serba susah. Menjawab pernyataan rival dikatakan antikritik, tidak menjawab keterlaluan. Pun ia menggunakan paradigma demokrasi itu kebebasan, kadang bebas juga untuk ngaco, asal tidak melanggar hukum atau kriminal. Lihat saja pelaporan ke kepolisian yang menyangkut dirinya hampir tidak ada, dari diri sendiri lho, bukan pihak lain.

Presiden itu untuk semua rakyat, bukan hanya pemimpin bagi yang memilih saja. Kondisi yang tidak mudah. Sama juga dengan anak yang tiap hari menghabiskan uangnya untuk mabuk-mabukan, mengambili uang warung untuk minum-minum. Mana ada bapak yang akan membawanya ke polisi?  Kondisi yang sama terjadi.

Alam demokrasi, ketika dihidupi orang-orang yang memiliki karakter waton sulaya ya susah. Apalagi ketika dibalik atau dituntut mewek dan malah akhirnya meterai. Masih lumayan dari pada yang mencari kambing hitam. Itu yang membuat susah untuk bersikap keras, tegas, dan lugas.

Nikita Mirzani jelas bukan pejabat, bukan pula politikus, tidak akan memiliki beban sebagaimana presiden. Ia paling dicaci-maki, diancam, dan ia sudah kenyang dengan model demikian. Toh keberaniannya malah memantik gelombang dukungan dari segala lini dan kelompok.

Jokowi tidak akan bisa demikian. Sikapnya sangat menentukan banyak segi kehidupan berbangsa. Label antiagama tentu sangat mengerikan. Dampak panjang untuk PDI-P dan stabilitas politik yang lebih luas.  Hal yang tidak dimiliki Nikita Mirzani.

Dudung Abdulrahman bergerak cepat ketika Rizieq meradang karena dikatakan tukang obat oleh Nikmir, kondisi limbung karena memang tipikal emosional, langsung dihantam dengan keberadaan simbolisasinya dirobohkan. Selesai sudah. Habis tidak bersisa. Kepribadiannya yang besar sudah terhantam telak dengan kata-kata tukang obat. Olok-olokan imam besar yang ia dan pengikut sakralkan benar-benar rontok oleh labeling tukang obat.

Baliho sebagai simbol perlawanan masif dan bisa eksis demikian lama, tanpa tersentuh, langsung berantakan karena dengan itu menjad penyemangat gelombang di kota-kota lain Satpol PP dan massa ikut-ikutan berani. Penolakan kedatangannya ke daerah juga mulai santer terdengar. Kondisi yang membuat makin panik dan tentu saja ciut nyali.

Pukulan telak adalah status tersangka. Polisi yang selama ini seolah takut, gamang untuk bertindak atas perilaku ugal-ugalannya mendadak garang. Ini di luar prediksi. Status yang tidak main-main. Makin kalut dan semakin tidak terkendali lagi. Oleng benar-benar oleng. Ini sama persis dengan model Mike Tyson yang bisa dipukuljatuh oleh Holyfield atau Douglas. Mereka berdua tidak takut atau jerih duluan.

Tyson yang biasa brutal dengan sabar diajak untuk bertarung panjang, tidak kuat,  frustasi, dan kalut. Selesai. Biasanya lawannya takut duluan. Sama juga dengan stadion MU, yang kini kehilangan angkernya itu. Ini adalah kuat-kuatan adu strategi dan perang urat syaraf.

Pembelaan politikus dengan bahasa dialog, komunikasi, bertemu empat mata, adalah upaya membesarkan diri, semangat, dan harapan bahwa masih bisa dicoba. Jawaban presiden melalui staf kan tidak ada persoalan dengan presiden sebagai pribadi, namun dengan UU dan hukum mungkin ada.

Kematian pengawalnya makin membuatnya jatuh. Sekuat-kuatnya orang, kalau orang yang ada di dekatnya mati dan itu demi dia, toh akan terpengaruh juga perasaan dan hatinya. Game over, permainan berakhir, dan akhirnya menyerah juga.

Kata yang dipakai menyerah itu sangat krusial dan menggambarkan keadaan Rizieq yang benar-benar habis, tidak lagi berdaya untuk bisa sekadar mempertahankan diri. Upaya-upaya lanjutan yang dilakukan pengikut dan para elit oposan sih malah makin membahayakan Rizieq. Politikus yang berseru-seru itu hanya demi kepentingannya sendiri, kelompok mereka, bukan demi Rizieq dan FPI-nya. Panggung mereka yang oleng mau ditopang dengan nasib Rizieq.

Apa yang dilakukan Pangdam Jaya dan Kapolda adalah kepanjangan tangan pemerintah dan presiden. Ranah mereka  berdua yang tentu saja sudah sangat setuju baik KSAD, Panglima TNI, pun Kapolri. Tanpa restu mereka, keberadaan dua perwira itu bisa malah menjadi masalah bagi karir mereka.

Soliditas kedua lembaga itu memberikan angin segar bagi negara, namun tidak bagi Rizieq dan kawan-kawan. Suara-suara yang didengung-dengungkan makin meredup. Ada pemberitaan jika di Petamburan sudah tidak ada lagi laskar. Anak ayam itu makin kebingungan kehilangan induk dan pegangan yang baru saja mau berpesta usai lama terpisah.

Kesadaran bahwa keberanian itu pasti akan datang. Sebaliknya, kekuatan dan kekerasan seperti apapun pasti akan kelemahan. Pertunjukan pasti berakhir, dan kini arah pada ending itu semakin jelas. Harapannya adalah hukum bukan politik. Jangan sampai diselesaikan dengan politis sehingga malah menimbulkan masalah baru.

Angin sepoi-sepoi malah melenakan kera di atas pohon. Angin badai datang si kera sudah bersiap. Sama juga dengan kisah Rizieq ini siapa menyangka, kepepet dan mati kutu malah oleh Nikita Mirzani. Ahok saja ia jungkalkan.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun