Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menanti "Pembalasan" Prabowo

28 November 2020   12:08 Diperbarui: 28 November 2020   12:14 1533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menanti Aksi Prabowo

Penetapan tersangka pada EP jelas menghancurkan perasaan Prabowo. EP lebih dari sekadar kader partai, namun lebih dari itu, kepercayaan dan pengorbanan Prabowo sungguh besar. Ia beayai kuliah, ikut ke Jerman dan Jordania. Menjadi anggora dewan dan kemudian menteri. Mengapa itu lebih dari sekadar kader?

Lihat saja gaya Fadli Zon jauh lebih membela Prabowo dalam segala hal sejak sangat lama. Mana pernah EP membela terang-terangan seperti Zon? Fadli pula yang mempertanyakan komitmen Mega untuk mendukung Prabowo sebagai capres usai mereka berpasangan dan kalah. EP tidak bukan?  Sama sekali tidak pernah bersikap demikian, beda orang beda cara dan karakter memang. Itu sikap dan pilihan.

Kader lain juga banyak, lebih pengalaman, menjadi pembela Prabowo sejak lama, toh EP yang dijadikan menteri. Ini bukan hal yang sepele atau biasa saja. Tentu ada hal yang istimewa dalam pandangan dan penilaian Prabowo pastinya. Sopir dan memijat, sangat personal relasi mereka, ini yang jarang didapat dan seberuntung EP dari kader-kader lainnya.

EP bukan juga tipe penyuka ketenaran dengan banyak medsos dan menanggapi banyak isu.  Jadi tidak setenar Fadli atau Puyuono, atau Habiburohman. Apa yang Prabowo nilai bukan itu. Atau setangkas Desmond di dewan, atau segesit si Riza dan Muzani, tidak. Mereka tidak dijadikan menteri.

Menteri pertama Gerindra, ini sejarah lho, diberikan kepada orang istimewa tentu  saja. Sederet nama lain lewat, dan hanya EP seorang. Jaringan luas Gerindra tersimpul pada sosok EP. Jabatan prestisius dan tidak sembarangan, kementrian pun juga menjadi sorotan publik.

Wajar EP mengatakan, tidak ingin membuat malu Prabowo dan membanggakan Pak Jokowi, bahwa presiden tidak salah pilih. Itu dulu, setahun lalu. Berbeda kini. Hancur berantakan ketika tahta itu di depan mata dan ternyata tidak mudah menolak atas nama teman dan kolega. Nasi telah menjadi bubur.

Posisi istimewa EP bagi Prabowo itu bak sebuah mainan kesukaan yang direnggut anak lain dan rusak. Marah, jengkel, dan bahkan ngamuk itu sangat mungkin.  Apakah wajar jika Prabowo ngamuk dan marah menyikapi ini, sangat mungkin. Tentu bukan dengan memberondongkan senapan seperti  prajurit stres dan depresi.

Mengapa Novel seolah unjuk diri dan unjuk muka? Sepertinya mengatakan sesuatu pada publik, dan itu jelas subyektif, toh bukan tanpa dasar menganalisisnya. Ia selama ini tidak tampil di depan publik, kecuali soal matanya itu. Hal yang  tepat sebagaimana tugasnya, bukan ranah dia untuk tampil.

Media juga langsung menunjuk namanya sebagai yang masih gesit dan gagah. Apa kaitannya coba? Itu tugas dia dan itu bagian dia, sama juga polisi menangkap maling mau tua atau muda bukan soal. Aneh malah ketika polisi membiarkan maling melarikan diri di depan matanya. Ada kejanggalan.

Lagi-lagi Tempo terdepan. Kecurigaan banyak pihak soal adanya "jaringan" khusus antara KPK dan Tempo menambah nada fals mengenai OTT ini. Sekali lagi bukan soal membela atau menilai EP baik-baik saja lho. Memang ada masalah, hanya perlu dilihat ada yang tidak semestinya.

Prabowo itu egonya tinggi. Wajar, pasukan tempur,  komando elit, menantu orang nomer satu di RI,capres dua kali pula. Lingkaran  mereka yang cenderung fanatis juga menambah sikapnya lebih mengedepankan ego. Lihat cara menangkis serangan dalam kampanye dan bahkan debat pilpres memberikan pembuktian itu.

Kemarahan, emosional, dan sikapnya yang meledak-ledak itu memperlihatkan sikapnya itu. apakah akan diam saja melihat anak ideologisnya "dipermalukan" demikian?

Jika itu adalah pembongkaran kejahatan, lebih baik sih, jadi model tiji tibeh, siji tiba tiba kabeh, jatuh satu, jatuh semua. Cara pembersihan kejahatan yang seharusnya demikian. Balas berbalas, hantam menghantam untuk membongkar kejahatan, bukan malah membela dan  menyembunyikan, yang selama ini biasa terjadi. Lokalisasi persoalan.

Siapakah yang akan menjadi korban perlawanan dan pembalasan Prabowo? Bisa siapa saja. Ingat jaringan Prabowo juga tidak kecil. Keberadaannya di kementrian membuatnya makin memiliki kuasa untuk melakukan banyak hal. Tentu bukan perlawanan inkonstitusional. Cara-cara hukum masih banyak. Kasus korupsi di mana-mana ada kog. Mau yang pusat apalagi daerah.

Kesempatan bersih-bersih ya dengan cara saling membuka kartu bukan malah menutupi dan menyembunyikan  masalah demi melindungi pihak-pihak tertentu. Kejaksaan dan KPK bekerja sama, bukan malah saling mengintai dan menjatuhkan demi kepentingan pihak terntunya.

Saatnya bebersih dan bebenah, jangan hanya terus menjadikan itu harapan. Masyarakat hanya berharap dan malah elit kembali menutup akses untuk bisa terkuak dengan semestinya. Apakah ini akan demikian lagi?

Waktunya berubah, bukan tetap seperti dulu terus menerus, melindungi atau menyasar pihak lain, namun tidak demi kebaikan negeri, demi hasrat balas dendam, kadang tidak terukur dan ngasal semata. Jangan korbankan negeri demi kepuasan pribadi dan kelompok. Pun jangan rampok kekayaan bangsa ini demi kantong sendiri.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun